Banyak mahasiswa yang kaget saat memasuki dunia pasca-kampus karena terbiasa dengan sistem yang "terstruktur dan terjamin". Saat dihadapkan dengan situasi yang tidak pasti, seperti penolakan kerja, kegagalan proyek, atau ketidak jelasan arah hidup, mereka mudah cemas, kehilangan arah, dan merasa tidak cukup.
Sebaliknya, mereka yang semasa kuliah berani keluar dari zona nyaman, ikut kegiatan sosial, magang, atau membangun relasi lintas jurusan, lebih siap menghadapi kerumitan hidup. Mereka punya pengalaman jatuh dan bangkit, mengalami konflik dan menyelesaikannya, serta belajar bahwa nilai hidup tak hanya diukur dari IPK, tapi juga dari kemampuan bertahan dan berkontribusi.
Maka wajar jika hari ini, banyak perusahaan dan lembaga lebih mencari kandidat yang punya soft skill kuat, inisiatif, serta etos kerja baik, meskipun nilai akademiknya biasa saja. Dunia tak lagi menilai hanya dari transkrip nilai, tapi dari nilai-nilai yang dibentuk oleh pengalaman hidup.
Saatnya Redefinisi 'Berprestasi'
Sebenarnya, apa arti "berprestasi" di zaman sekarang? Apakah masih sebatas juara kelas, IPK nyaris sempurna, lulus tepat waktu dengan predikat "cumlaude" atau sederet sertifikat seminar? Jika iya, ini berarti kita sedang terjebak pada definisi lama yang tak lagi relevan dengan tantangan dunia modern. Prestasi sesungguhnya, hari ini tidak hanya diukur dari hasil, tetapi dari proses, keberanian mencoba, dan ketahanan dalam menghadapi kegagalan. Seorang mahasiswa yang pernah gagal membangun komunitas, tapi bangkit dan mencoba lagi, bisa jadi lebih "berprestasi" dibanding mereka yang hanya fokus pada nilai dan bermain aman.
Sayangnya, sistem pendidikan kita masih kerap mengagungkan pencapaian yang bisa diukur angka. Kita jarang memberi ruang bagi mahasiswa untuk "salah", "coba-coba", apalagi "gagal". Padahal, justru dalam ruang-ruang itulah kreativitas dan resiliensi tumbuh. Gagal bukan aib, asal diiringi pembelajaran.
Saatnya kampus dan para pendidik mulai memberi pengakuan lebih besar pada capaian non-akademik, seperti inisiatif sosial, karya kreatif, hingga keberanian mengambil jalur karier yang tak lazim. Ini bukan berarti nilai akademik harus ditinggalkan, melainkan diseimbangkan dengan bentuk-bentuk kecakapan hidup lain. Kita juga perlu membebaskan mahasiswa dari tekanan untuk selalu menjadi "sempurna". Tak semua orang cocok di jalur akademik murni. Ada yang bersinar di lapangan, di dunia kreatif, di ruang publik. Menghargai keberagaman potensi adalah bagian dari redefinisi prestasi itu sendiri.
Jadi, ketika seseorang tak memiliki IPK tinggi, bukan berarti ia gagal. Bisa jadi, ia sedang menjalani jalur prestasinya sendiri, yang mungkin belum kita pahami sepenuhnya.
Belajar untuk Hidup, Bukan Sekadar Lulus
Disini kita tidak sedang mengesampingkan atau menyepelekan nilai akademik. Tapi kita juga tidak bisa terus memuja angka dan mengabaikan kenyataan. Dunia nyata tidak pernah meminta fotocopy KHS-mu. Ia akan menguji ketangguhanmu, seberapa kuat kamu bangkit setelah gagal, dan seberapa jauh kamu bisa membawa dampak baik untuk lingkungan sekitarmu, sekecil apa pun itu, di dunia nyata itu akan berarti.
Belajar bukan semata-mata tentang menghafal dan mengerjakan tugas. Belajar adalah proses memanusiakan diri, melatih cara berpikir, bersikap, dan berperan dalam kehidupan. Maka jika hari ini kita hanya mengincar nilai A tanpa pernah bertanya "apa makna dari yang kupelajari?", kita sedang kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Untuk para mahasiswa, sudah waktunya memandang kampus bukan sebagai pabrik nilai, tapi sebagai ruang tumbuh. Kembangkan diri, cari pengalaman, berani keluar dari zona nyaman. Belajar dari orang lain, dari kegagalan, dari dunia nyata. Sebab kelak, dunia tidak akan bertanya "berapa IPK-mu?", Tapi mereka akan bertanya "Apa yang bisa kamu kontribusikan?"
Dan untuk para pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan, mari bantu redefinisi arti sukses. Beri ruang untuk gagal, beri penghargaan untuk proses, dan jangan mengukur kecerdasan hanya dengan angka. Sebab, pendidikan yang baik bukan yang menghasilkan lulusan sempurna, tapi manusia utuh yang siap menghadapi hidup.