Senja menjilat jendela kamar kosku, melumuri ranjang-ranjang debu di udara dengan cahaya keemasan. Di meja kecil, secangkir kopi dingin telah menemaniku seharian, tak tersentuh, menjadi saksi bisu kegalauan yang menggantung di ruang sempit ini. Kehidupan nyata, pikirku, tak semanis iklan kopi instant atau sedramatis film drama Korea. Di sini, pahitnya menempel di lidah, kegagalan berputar-putar seperti asap rokok.
Dua minggu lalu, mimpiku untuk bekerja di perusahaan media ternama hancur berkeping-keping. Penolakan email itu bagai palu godam yang meruntuhkan menara harapan yang susah payah kubangun. Kini, aku hanyalah seonggok pengangguran, terombang-ambing ketidakpastian, digerogoti kecemasan yang kian merajalela.
Kulihat ponsel di atas meja, layarnya berkedip tak henti. Pesan dari Ibu dan Ayah bermunculan, penuh dengan tanya dan khawatir. Aku tak berani membalasnya. Apa yang harus kusalurkan? Kegagalan? Kekalahan? Rasa tak berguna yang membenamku hingga nyaris tenggelam?
Hening senja dipecah oleh derap langkah di lorong kos. Tak lama, pintu kamar terbuka, dan Bimo, tetangga sekaligus sahabatku, masuk dengan senyum lebar dan plastik berisi gorengan hangat. Senyumnya bagai seberkas cahaya yang menembus kegelapan kamarku.
"Hei, kok ngelamun? Ngopi dingin nggak enak, bro. Makan ini dulu, baru ngopi lagi," katanya sambil meletakkan plastik di meja.
Aroma gurih gorengan kentang menyeruak, menggelitik perutku yang kosong. Bimo memang selalu tahu caranya menerangi hari-hariku. Kami duduk bersebelahan, berbagi gorengan dan cerita. Dia bercerita tentang kerja barunya, tentang proyek-proyek kecil yang dikerjakannya, tentang mimpinya menjadi fotografer freelance.
Cerita Bimo sederhana, tanpa drama ataupun gembar-gembor. Tapi di dalamnya, aku melihat semangat, pantang menyerah, dan keyakinan. Kehidupan nyata memang tak melulu indah, bisikku dalam hati, tapi di dalamnya selalu ada ruang untuk bertumbuh, untuk belajar, untuk bertahan.
Senja kian temaram, digantikan semburat bintang di langit. Kami menghabiskan kopi dan gorengan, bercanda tawa, berbagi mimpi dan ketakutan. Di senja itu, secangkir kopi yang dingin tak lagi terasa pahit. Ia menjadi secercah kehangatan, pengingat bahwa aku tak sendirian, bahwa kehidupan masih terus berlanjut, dan mimpi, meski tertunda, tak pernah benar-benar padam.
Malam itu, sebelum melepas tidur, aku membalas pesan Ibu dan Ayah. Tak ada keluhan, tak ada kegagalan. Aku hanya menulis, "Halo, Bu, Yah. Rindu kalian. Ngopi yuk besok malam? Aku kangen masakan Ibu."
Biarlah pahit kehidupan nyaris mencekikku. Tapi senja hari ini, dengan secangkir kopi dan sahabat di sampingku, telah mengajariku satu hal: bertahan. Bertahan untuk bangkit, untuk mengejar mimpi, untuk berpegang pada secercah harapan di tengah gurat hitam kenyataan. Dan dalam bertahan, mungkin saja, secangkir kopi yang dingin akan kembali terasa nikmat, dan kehidupan nyata, meski tak seindah iklan, akan kuhiasi dengan warnaku sendiri.