Mohon tunggu...
Selly Fitriyani Wahyu
Selly Fitriyani Wahyu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student of Padjajaran University

A journalism undergraduate student who is interested in the creative industry and education matters. She does her best to any projects or work that involves her. Her vision is to raise education awareness and support others to achieve their dreams. She believes her ability to collaborate creativity, human resources, and social media optimization can make her visions come true in every little step.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Toxic Masculinity dari Kacamata Perasaan

23 November 2022   09:16 Diperbarui: 23 November 2022   09:20 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pch.vector

Menangis adalah Ungkapan Dari Perasaan dan Emosi Manusia

Menangis merupakan bentuk ekspresi yang umum ditunjukkan oleh manusia. Alasan dari tangis bisa bermacam-macam. Ada tangisan karena hal yang menyenangkan, ada juga karena rasa takut, ada juga karena rasa sakit atau terluka. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang menangis, hal tersebut sangatlah wajah. Sama halnya dengan tertawa, menangis adalah hak semua manusia, termasuk lelaki.

Salah satu budaya toxic masculinity yang familiar di kalangan masyarakat adalah bagaimana menangis adalah hal yang terlarang bagi seorang lelaki dan laki-laki mungkin terbiasa mendengar ucapan "laki-laki itu gak boleh nangis." Menurut orang-orang kebanyakan, lelaki itu harus kuat, berani, percaya diri, dan kata sifat positif lainnya yang memiliki makna maskulin. Ketika seorang lelaki menangis, seringkali diartikan mereka bukan lelaki sejati karena mereka menunjukkan sisi lemah mereka dan menangis memiliki asosiasi dengan sifat "feminin."

Oleh karena itu, kebanyakan lelaki terlihat keren, kuat, dan berani di luar. Mereka belum memiliki kesempatan untuk membagikan atau mengungkapkan apa yang mereka rasakan karena respons yang didapatkan tidak menyenangkan. Orang lain terkadang tidak memvalidasi perasaan dan emosi yang bersifat lemah ketika perasaan dan emosi tersebut diungkapkan oleh lelaki. Orang-orang memiliki ekspektasi mengenai bagaimana seorang lelaki itu.

Melihat Realita Toxic Masculinity Bekerja

Elfa, seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran, ikut membagikan pengalamannya mengenai toxic masculinity dan bagaimana dampaknya di kehidupannya sekarang. 

"Iya, pernah. Pernah, sih dibilang 'laki-laki itu gak boleh nangis' dan mungkin jadi pengaruh ke mindset," jelas Elfa singkat.

Mindset yang Elfa maksud di sini adalah ketika ia merasakan sesuatu, ia tidak mengungkapkan dan seringkali tidak memvalidasi perasaannya sendiri. Ia juga ikut merasa denial dengan emosi dan perasaannya. Hal tersebut berakhir pada ia mencoba menguatkan dirinya sendiri.

"Gak ada tempat buat menyalurkan perasaan dan emosi, jadi dipendem semua," terangnya ketika menjelaskan tentang apa yang ia lakukan dengan perasaan dan emosinya. Elfa menyadari perihal apa yang ia lakukan sejak lama. Sudah sejak kecil, ia menyimpan apa-apa sendiri.

"Disimpen sendiri, kebetulan karena ada masalah keluarga juga. Jadinya, kayak gak percaya sama orang lain dan selfish aja," cerita Elfa. Meskipun Elfa mengatakan bahwa ia memendam perasaannya, ia juga mencoba mengungkapkannya dan bercerita. Hanya saja, ia tidak bercerita ke teman atau keluarganya yang masih hidup, tetapi ia menghadap ke makam mendiang neneknya. Namun, ia tidak bercerita selayaknya ia mengobrol, ia melakukan monolog di dalam otaknya.

Elfa juga membagikan respons seperti apa yang ingin ia dapatkan ketika ia nantii bisa mengungkapkan perasaannya kepada orang lain. "Responnya, sih kalau bisa yang tetap menguatkan dan encourage aku untuk terus maju ke depannya. Di sisi lain, menurut aku action speaks louder than words," jelas Elfa.

Meskipun ia belum bisa menemukan seseorang yang pantas untuk mendengarkan cerita-cerita dan perasaannya, ia sudah memiliki bayangan respons seperti apa yang akan ia keluarkan jika menjadi orang yang dipercayai oleh teman-temannya. "Tergantung value dan ada indikatornya, tetapi bakalan tetep aku bantu kok, bakalan ngobrol, tapi harus cuman berdua dan serius," ujarnya.

Ketika berbicara soal bagaimana orang melihat dia, Elfa bercerita bagaimana ia adalah seseorang yang mudah bergaul dengan siapa saja dan bisa berteman dengan siapa saja. Ia berada dalam banyak lingkaran pertemanan. Namun, dari semua orang yang ia kenal, tidak ada satupun yang ia anggap sebagai orang yang pantas untuk ia jadikan tempat bercerita. "Ada yang penasaran dan akhirnya nanya, tapi aku tutup-tutupin," jelasnya perihal apakah ada yang penah bertanya-tanya tentang perasaannya. Ia tidak yakin apakah temannya itu percaya atau tidak, tetapi ia tidak pernah membiarkan orang lain tahu tentang perasaannya.

Elfa mengatakan bahwa menurutnya, mengekspresikan perasaan diri adalah hal yang baik dan bagus untuk kesehatan mental. Namun, mungkin bagi kebanyakan lelaki, termasuk dirinya sendiri, masih memilih untuk tetap terlihat kuat dan memendam perasaan sendiri. Kendati mengetahui tidak baik menekan perasaan, Elfa tetap melakukannya. Hal tersebut karena ia sudah telanjur tidak percaya dengan orang lain dan segan bercerita.

Secara singkat, Elfa memang menjadi sosok yang terlihat amat sangat maskulin di hadapan teman-temannya. Namun, besar kemungkinan orang di sekitarnya tidak tahu persis sosok seperti apa Elfa. Ekspektasi respons menjadi masalah utama Elfa enggan berkeluh kesah. Visualisasi maskulinitas yang identik dengan kuat mendorongnya untuk tetap terlihat tangguh. Efek panjangnya, Elfa menjadi tertutup dan mendorong masalah-masalah lainnya muncul

Konsekuensi dan Ekspektasi Masyarakat Harus Dikurangi

Ketika manusia terbiasa menumpuk perasaan atau emosi mereka, mereka akan sulit mengekspresikan diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mencari bantuan dan membiarkannya. Hal terburuk yang mungkin terjadi dari perilaku seperti adalah depresi dan berakhir pada bunuh diri. Dampak negatif ini berlaku untuk pria dan wanita, sehingga dengan meremehkan perasaan seseorang, khususnya pria, mereka akan memiliki kecenderungan untuk lebih tertutup dan mencoba terlihat keren karena tahu perasaan dan emosinya yang menunjukkan karakteristik "feminin" tidak akan divalidasi oleh orang lain.

Masyarakat harus tahu bahwa memiliki perasaan dan emosi adalah hal yang wajar bagi manusia, termasuk juga lelaki. Ekspektasi masyarakat terhadap lelaki bahwa mereka harus terlihat maskulin hanya karena mereka lelaki dan tidak boleh berasosiasi dengan sifat yang punya asosiasi dengan "feminin" adalah hal yang sepatutnya mulai dikurangi. Mengungkapkan perasaan atau emosi adalah hal yang wajar dan siapapun berhak melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun