Berdesir angin mengetuk pintu.
Saat nama terucap tanpa tunggu.
Bak Opera, labirin akalku memutar waktu.
Mendendang kalbu, menahan napasku.
Dan langit mendadak keruh, bergemuruh. Seolah mengasihaniku, menyabik rindu.
"Hai." sapamu, kaku.
Sekian purnama berlalu tanpa titik temu.
Aku terdiam, membeku.
Memandangmu, tanpa koma dalam pilu.
Dan hujan turun. Seolah mendengar getar di hatiku. Membuka kembali frasa yang telah tutup buku.
Merisak serpihan aksara dalam ingatan.
Tentang keluh dan tangis di penantian.
Tentang jejak yang pergi tanpa pamitan.
Kehilangan.
Kau mengusap kepala, gugup. Matamu hilir mudik menghindari pandangku, meragu. Menggigit bibir, takut. Mendesak?
Mendadak, sebaris iba menggugah rasa.
Padahal luka jelas masih menganga.
Setetes nila merusak susu sebelanga.
Tapi, aneh. Dilema menggema di ruang hampa.
Aku tahu, kau terpaksa.
Aku mendesah. Menggerutu resah.
Jelas hati ingin mengaum, marah-marah.
Namun tampangmu membuatku merasa bersalah.
Dilema. Hati pun mengabaikan akalku nan gelisah.
"Ada apa?"
[Solok, 13 Oktober 2021]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI