Kemauan kita untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah langkah awal dalam mengungkap persoalan sosial yang sering luput di tengah hingar-bingar media sosial. Hasrat warga untuk mendapatkan makanan gratis itu lahir dari rasa lapar, juga dari harapan untuk mencicipi makanan lezat dan istimewa-yang mungkin sulit mereka akses dalam kehidupan sehari-hari akibat kesulitan ekonomi, kecuali dalam momen besar seperti pesta pernikahan itu.
Ketidakmampuan ekonomi warga untuk memperoleh makanan sebagaimana backmind mereka, secara logis adalah problem kemiskinan. Kemiskinan inilah yang bersenyawa dalam realitas hidup warga yang rela berdesakan demi seporsi makanan. Ini berarti kita berhadapan dengan masalah kultural yang harus diatasi melalui kebijakan struktural. Oleh sebab itu, saya tidak sepakat dengan pemaknaan peristiwa semata-mata sebagai takdir sebagaimana dikemukakan oleh Kang Pirman.
Peristiwa Garut hanya sebuah studi kasus. Jika akar permasalahan tidak diselesaikan melalui kebijakan yang tepat dan tidak didukung serta dikoreksi secara rasional, maka situasi serupa akan terus terulang-meski dalam bentuk yang berbeda. Bahkan bisa saja setiap peristiwa di masa depan akan selalu ditafsirkan dengan kesimpulan tunggal: takdir.
Sebagai sesama pendukung KDM, saya berharap pertengkaran diametral melalui opini ini dapat dijawab secara terbuka oleh Kang Pirman-jika memang ia masih berpegang teguh pada tiga pondasi utama PSM: historical, cultural, intellectual.
Kutunggu seranganmu, Kang Sekjend!
Rahayu
Horas
Jakarta, 26 Juli 2025
Juson Simbolon
Blogger & Vlogger | Satrio Bushido Library
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI