Sebagai sesama pendukung Kang Dedi Mulyadi (KDM), kali ini saya harus bertengkar dengan Sekretaris Jenderal (Sekjend) Paguyuban Sunda Muda (PSM), Kang Pirmansyah. Pertengkaran ini merupakan upaya menggugat basis berpikir dan respons Kang Sekjend terhadap beberapa fenomena di Jawa Barat, khususnya kebijakan Gubernur KDM dan sejumlah peristiwa penting lainnya.
Sebagai informasi, Kang Pirman adalah salah satu dari sekian banyak anak muda Sunda yang sejak dua tahun lalu menjadi sahabat diskusi saya. Banyak momentum telah kami ciptakan bersama untuk mengasah kecerdasan intelektual dan mempererat kedekatan emosional. Topik yang kerap kami bahas-baik secara terencana maupun spontan-selalu berkisar pada sosok KDM. Kami mengulas gagasan KDM, membedah buku-buku karyanya dengan berbagai pendekatan. Ada tiga pendekatan dasar yang selalu kami gunakan: sejarah, budaya, dan intelektualitas, atau dalam istilah lain: historical, cultural, intellectual.
Sejak pertemuan awal, Kang Pirman dan beberapa rekan lainnya, dalam penilaian saya, termasuk yang sangat bersemangat mendorong lahirnya cahaya pembaruan sebagai harapan baru di Jawa Barat. Layaknya masa Renaisans di Eropa abad ke-14 hingga ke-17 Masehi, kami bercita-cita menghadirkan kembali kebangkitan peradaban dan kebudayaan Sunda, khususnya dalam seni, sastra, ilmu pengetahuan, hingga kepemimpinan di tatar Sunda.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, melalui proses dialektika yang cukup panjang, kami sepakat mendirikan Paguyuban Sunda Muda (PSM) sebagai organisasi strategis jangka panjang. PSM dibangun di atas tiga pondasi dasar sebagai pedoman: historical, cultural, intellectual. Sejak Kongres I di Tangerang Selatan, tagline PSM adalah Yakin, Tigin, Tinekanan. Makna tiga kata ini telah saya uraikan dalam beberapa tulisan sebelumnya.
Sejak PSM berdiri, berbagai gerakan politik telah kami lalui. Dari sekian banyak kerja-kerja politik, yang paling maksimal adalah mendukung KDM saat Pilkada dengan target kemenangan 75% suara. Strategi saat itu meliputi kampanye melalui media sosial, konsolidasi dan mobilisasi di berbagai daerah, serta Bedah Buku KDM berjudul "Orang Sunda Juga Bisa - Pesan Untuk Nonoman Sunda."
Sampai hari ini, PSM tetap bertekad mendukung kepemimpinan Gubernur KDM dalam mewujudkan Jawa Barat Istimewa. Namun, meski kami sama-sama pendukung KDM, kali ini saya harus bertengkar dengan Kang Pirman. Pertengkaran kami menyangkut perbedaan mendasar dalam basis berpikir ketika merespons beberapa situasi di Jawa Barat.
Antara saya dan Kang Pirman, terjadi kontradiksi diametral dalam memandang peristiwa Garut, 18 Juli 2025. Ia sama sekali tidak menyampaikan pendapat dengan pisau analisis yang jelas dan logis, sebagaimana mestinya dalam kerangka berpikir PSM.
Padahal, Kang Pirman dikenal memiliki kemampuan membangun narasi dengan pendekatan historis dan kebudayaan Sunda.
Dalam diskusi via WhatsApp, ia menyampaikan bahwa peristiwa tersebut, serta beberapa kebijakan lainnya, harus disikapi dengan pendekatan doktrin mitologis (cerita-cerita kuno yang mengandung unsur adikodrati). Sebuah pendekatan yang justru mengabaikan faktor-faktor materialis, dialektis, dan logis.
Saya sangat menentang konklusi tersebut. Sebab ia mengabaikan latar belakang terjadinya suatu peristiwa. Saya memahami, Kang Pirman menyampaikan kritik dalam tradisi adab Sunda bersifat semiotik, jenaka, bernuansa sastra, atau satire. Oleh sebab itu, saya tidak mempermasalahkan gaya penyampaian kritik atau analisis jika harus bersifat demkian terhadap peristiwa Garut maupun kebijakan Gubernur KDM lainnya. Yang saya persoalkan adalah mengapa kesimpulannya dikembalikan pada keyakinan mitologis
Padahal, dalam beberapa kasus sebelumnya-termasuk isu infrastruktur jalan di Sukabumi-Kang Pirman sukses menyedot perhatian publik melalui narasi kritis yang tajam. Contohnya adalah narasinya tentang hubungan antara kumis Bupati Asep Jafar dan jalan rusak di Sukabumi.
Dalam tulisan ini, saya menyampaikan pertengkaran ini sebagai bentuk gugatan atas cara berpikir Kang Pirman. Sebab bagi saya, peristiwa di Garut tidak bisa semata-mata dipandang sebagai takdir atau diributkan sebatas "siapa yang salah." Yang paling penting adalah mengajukan pertanyaan mendasar: "Mengapa warga rela berdesakan hanya untuk mendapatkan makanan gratis?"
Kemauan kita untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah langkah awal dalam mengungkap persoalan sosial yang sering luput di tengah hingar-bingar media sosial. Hasrat warga untuk mendapatkan makanan gratis itu lahir dari rasa lapar, juga dari harapan untuk mencicipi makanan lezat dan istimewa-yang mungkin sulit mereka akses dalam kehidupan sehari-hari akibat kesulitan ekonomi, kecuali dalam momen besar seperti pesta pernikahan itu.
Ketidakmampuan ekonomi warga untuk memperoleh makanan sebagaimana backmind mereka, secara logis adalah problem kemiskinan. Kemiskinan inilah yang bersenyawa dalam realitas hidup warga yang rela berdesakan demi seporsi makanan. Ini berarti kita berhadapan dengan masalah kultural yang harus diatasi melalui kebijakan struktural. Oleh sebab itu, saya tidak sepakat dengan pemaknaan peristiwa semata-mata sebagai takdir sebagaimana dikemukakan oleh Kang Pirman.
Peristiwa Garut hanya sebuah studi kasus. Jika akar permasalahan tidak diselesaikan melalui kebijakan yang tepat dan tidak didukung serta dikoreksi secara rasional, maka situasi serupa akan terus terulang-meski dalam bentuk yang berbeda. Bahkan bisa saja setiap peristiwa di masa depan akan selalu ditafsirkan dengan kesimpulan tunggal: takdir.
Sebagai sesama pendukung KDM, saya berharap pertengkaran diametral melalui opini ini dapat dijawab secara terbuka oleh Kang Pirman-jika memang ia masih berpegang teguh pada tiga pondasi utama PSM: historical, cultural, intellectual.
Kutunggu seranganmu, Kang Sekjend!
Rahayu
Horas
Jakarta, 26 Juli 2025
Juson Simbolon
Blogger & Vlogger | Satrio Bushido Library
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI