“Ngger, kalau kita yakin bahwa kita manusia, “ kata seorang eyang kakung kepada cucunya,
“ binatangkanlah binatang karena dia memang binatang. Manusiakanlah manusia walaupun menurut kita dia masih berperilaku seperti binatang. Kalau manusia itu ‘menggigit kita’ tetap saja manusiakan dia agar dia tidak tambah ‘menggigit’ kita lagi. Kalau ternyata dia masih juga ‘menggigit’ kita, tetap saja manusiakanlah dia sekalian kita mawas diri apakah kita memang pantas ‘digigit’. Demikianlah, ngger, nasihat tukang kuda Jayabaya ”
“Terima kasih eyang, hanya saja koq yang memberi wejangan tukang kuda Jayabaya. Bukan Jayabaya sendiri ?”
“Nah ini bukti bahwa orang - termasuk kamu - lebih melihat siapa yang memberi wejangan bukan apa yang diwejangkannya ? Tahukah kamu siapa tukang kuda Jayabaya ? “
“Tidak, eyang “
“Tukang kuda itulah salah satu sosok yang memberi ilham Jayabaya sehingga bisa memberikan wejangannya yang terkenal itu.”
“Koq kakek tahu ?”
“Ya logika saja. Bukankah Jayabaya adalah raja ?”
“Ya, Raja Kediri yang termashur dengan wejangan bijaknya !”
“Bukankah raja zaman dulu, termasuk Jayabaya, lazim punya kuda berikut tukang kudanya?”
“Ya !”
“Nah tukang kuda itulah yang dimaksud “