Mohon tunggu...
Sastrawan Batangan
Sastrawan Batangan Mohon Tunggu...

Sastrawan Batangan, yang lahir di Surabaya, pernah mukim di Surabaya, Malang, Bogor, Jakarta, Depok dan Cibinong. Hobi waktu senggangnya antara lain adalah membaca berbagai tulisan tentang kehidupan serta menulis puisi, artikel dan cerita berbasis makna hidup dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Kuda Pijit Jayabaya

27 Maret 2015   04:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ngger, kalau kita yakin bahwa kita manusia, “ kata seorang eyang kakung kepada cucunya,
“ binatangkanlah binatang karena dia memang binatang. Manusiakanlah manusia walaupun menurut kita dia masih berperilaku seperti binatang. Kalau manusia itu ‘menggigit kita’ tetap saja manusiakan dia agar dia tidak tambah ‘menggigit’ kita lagi. Kalau ternyata dia masih juga ‘menggigit’ kita, tetap saja manusiakanlah dia sekalian kita mawas diri apakah kita memang pantas ‘digigit’. Demikianlah, ngger, nasihat tukang kuda Jayabaya ”

“Terima kasih eyang, hanya saja koq yang memberi wejangan tukang kuda Jayabaya. Bukan Jayabaya sendiri ?”

“Nah ini bukti bahwa orang - termasuk kamu - lebih melihat siapa yang memberi wejangan bukan apa yang diwejangkannya ? Tahukah kamu siapa tukang kuda Jayabaya ? “

“Tidak, eyang “

“Tukang kuda itulah salah satu sosok yang memberi ilham Jayabaya sehingga bisa memberikan wejangannya yang terkenal itu.”

“Koq kakek tahu ?”

“Ya logika saja. Bukankah Jayabaya adalah raja ?”

“Ya, Raja Kediri yang termashur dengan wejangan bijaknya !”

“Bukankah raja zaman dulu, termasuk Jayabaya, lazim punya kuda berikut tukang kudanya?”

“Ya !”

“Nah tukang kuda itulah yang dimaksud “

“Wah saya belum terlalu paham, eyang”

“Bukankah ilham seseorang itu muncul setelah melihat apa yang ada di sekelilingnya ?”

“Ya “

“Itulah apa yang dialami Jayabaya. Karena selalu memperhatikan dengan seksama apa yang ada di sekelilingnyalah dia diberi Tuhan ilham. Termasuk mendengarkan apa yang dikatakan tukang kudanya dan pembantu-pembantunya yang lain. Bukankah ilham bukan datang tiba-tiba namun selalu ada lantarannya ? ”

“Masuk akal, eyang. Kalau pun tidak terlalu masuk akal, saya tak akan mempersoalkannya lagi. Bukankah eyang pernah berkata agar jangan melihat siapa yang bicara tetapi apa yang dibicarakannya ? “

“Hehehe benar. Nah daripada mempersoalkan siapa, lebih baik dengan hati bening
kita mendengarkan wejangan tukang pijit Jayabaya. Mau mendengarnya, ngger ?”

“Mau, eyang,” jawab cucunya sambil tersenyum.

“Ngger, kata tukang pijit Jayabaya, kalau kita yakin diri kita bukan binatang, menangislah karena betapa susahnya mengubah perilaku binatang menjadi perilaku manusia. Bersyukurlah karena kita telah melalui jalan panjang sehingga tidak berperilaku binatang”.

Sastrawan Batangan, 27-3-2015 / Kompasiana/Cermin


Sumber foto : tatangmangury.wordpress.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun