Mohon tunggu...
Erni Lubis
Erni Lubis Mohon Tunggu... Guru - Pengajar dan pembelar

Mencoba menulis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyikapi Korban dan Pelaku Bullying

4 Maret 2020   23:51 Diperbarui: 4 Maret 2020   23:56 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak belajar dari Kehidupannya (Children Learn What They Live)

oleh Dorothy Law Nolte (1924-2005)

Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.

Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

***

Kasus bullying atau perundungan yang kerap diberitakan oleh media seharusnya membuka mata batin kita bahwa tidak mudah menjadi orangtua dan guru, menyadarkan kita untuk belajar memahami anak-anak dan siswa kita, mengenal lebih dekat karakter mereka, dan lebih peduli kepada permasalahan yang mereka hadapi.

Kasus bullying bisa jadi ada di sekitar kita, atau bahkan bisa jadi kita sendiri adalah pelaku atau korban, tanpa disadari. Tindak bullying tidak hanya terjadi antara siswa membully siswa, siswa membully guru, tetapi juga guru membully siswa, bahkan mahasiswa membully mahasiswa, adapula dosen membully mahasiswa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), setiap tahun ada sekitar 6000 anak yang menjalani hukuman di penjara atau tahanan akibat tindak kriminal, termasuk tindak bullying. Jumlah tersebut setiap tahun semakin meningkat.

Bullying memiliki bermacam bentuk. Pertama, bullying secara sosial seperti menyebarkan rumor yang belum pasti hingga mengajak untuk menjauhi seseorang. Bullying ini biasanya mereka pelajari dari masyarakat. Seperti misal orangtua yang mengatakan kepada anaknya, jangan bermain dengan si X, dia itu nakal, bodoh, pemalas, bau, jorok, dan lain-lain.

Kedua, bullying secara fisik seperti memukul, menendang, hingga merusak barang. Mereka meniru dari orangtua, seperti orangtua yang melakukan tindak kekerasan kepada anak. 

Atau ayah yang melakukan tindak kekerasan kepada ibu lalu ditiru oleh anaknya. Juga anak meniru sinetron yang sering menayangkan aksi bullying dan kejahatan kriminal lainnya.

Ketiga, cyberbullying seperti memberikan komentar kasar, mengancam, hingga menyakiti dengan kata-kata yang ditulis di media sosial.

Pelaku bullying biasanya memiliki karakter yang agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasan, impulsif, sulit berempati, sering berbuat onar, ingin populer, pendendam, dan menguasai kehidupan berkelompok. Sedangkan korban biasanya seorang yang pendiam, pemalu, cenderung menarik diri, terlihat berbeda (seperti anak berkebutuhan khusus, dianggap miskin, berbadan kecil, dianggap bodoh, dan lain-lain).

Banyak para pelaku bullying yang tidak menyadari bahwa tindakannya itu merupakan bullying, menyakiti, bahkan berdampak sangat serius. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan itu keren dan beralasan bahwa mereka hanya bercanda, tidak serius. 

Orangtua dan guru pun menganggap "biasa anak kecil, udah maaf-maafan aja". Padahal tindak bullying dapat berdampak serius kepada korban bullying seperti mengalami kecemasan berlebihan ketika akan berangkat sekolah, merasa tidak berharga, tidak nyaman dengan lingkungan sekolah, merasa terasingkan, depresi, hingga bunuh diri.

Bu Indah Laras, sebagai salah satu aktivis yang mengkampanyekan anti bullying melalui Klik Squad, pernah menceritakan ada siswa kelas 3 SD yang menjadi korban bullying teman-temannya. 

Anak itu merasa perasaannya hancur, bahkan ia mengatakan, "bu, aku ingin mati aja." Bayangkan, anak kelas 3 SD sudah berpikir ingin mati saja daripada terus-terusan di bully teman-temannya.

Bahkan kasus anak SD di bully dan akhirnya bunuh diri ini pun benar-benar terjadi. Ingat kasus salah seorang siswa SD yang mendapatkan sepeda dari Pak Jokowi, anak tersebut termasuk anak pintar. 

Tetapi karena ia dibully oleh teman-temannya sebagai anak nara pidana, dimana ayahnya dipenjara karena membunuh ibunya, anak tersebut gantung diri.

Mereka, pelaku dan korban, juga memiliki masa depan. Orangtua dan guru tidak bisa menganggap ini adalah hal biasa. Para pelaku harus diubah menjadi lebih baik. Korban juga harus dibantu untuk tidak mengalami trauma dan tidak muncul sikap dendam. Maka peran orangtua dan guru penting dalam menangani kasus bullying.

Sekolah dalam Menangani Kasus Bullying

Ketika terjadi bullying, biasanya orangtua akan menyalahkan sekolah seperti sekolah tidak bisa mendidik dengan benar, sekolah tidak bisa menjadi tempat yang aman untuk anak. 

Orangtua merasa di rumah anak baik-baik saja. Padahal mayoritas anak mendapatkan perlakuan bullying lalu mereka tiru itu dari rumah, masyarakat, dan tontonan tv.

Sekolah harus memberikan peluang kepada siswa untuk terbuka dengan guru tentang hubungan mereka dengan orangtua, guru, dan antar siswa. Jika siswa mengalami kasus bullying maka guru harus membantu menanganinya. 

Sekolah tidak hanya bicara stop bullying, tetapi harus mengubah sistem untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman, dan untuk menciptakan habits (kebiasaan) dan habitat (lingkungan) yang baik.

Sekolah harus membantu korban dan pelaku bullying. Pertama, berikan wadah atau forum bagi korban dan pelaku untuk saling berbagi cerita, menilai, dan memberi solusi. Bantu pelaku untuk meminta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi, serta bantu korban untuk memaafkannya.

Kedua, jangan biarkan ada jam-jam kosong karena jam-jam kosong ini biasanya akan menjadi peluang bagi anak untuk melakukan tindak bullying. Guru harus ada di kelas baik saat jam istirahat, maupun jam pelajaran/kosong.

Ketiga, bangkitkan sikap empati dan simpati siswa lain untuk menerima kehadiran korban dan pelaku bullying. Keempat, jangan memberikan stigma negatif kepada mereka. Kelima, sediakan buku-buku bacaan, klipping atau majalah penggugah motivasi dan semangat hidup untuk membantu mereka bangkit.

Keenam, libatkan orangtua untuk ikut berkontribusi dalam projek antara anak dan orangtua, atau orangtua dengan orangtua untuk sharing tentang program anti-bullying, sekolah ramah anak, dan sekolah berkarakter.

Orangtua dalam Menangani Kasus Bullying

Ketika orangtua tau bahwa anaknya menjadi pelaku atau korban bullying, mereka belum sepenuhnya menerima. Mereka akan kaget, malu, shock, dan berusaha menutup-nutupi. Rata-rata orangtua tidak siap menghadapi anaknya yang menjadi pelaku atau korban bullying.

Orangtua tidak bisa menganggap hal-hal yang terjadi di sekolah dan yang membuat tidak nyaman anak adalah hal yang biasa. Masalah anak-anak tidak sesederhana yang kita pikirkan. 

Orang tua tidak hanya dituntut untuk mendengar (to hear) tetapi juga dituntut untuk menyimak/mendengarkan dengan penuh perhatian (to listen). Mereka harus bisa menjadi orang dewasa yang mampu dipercaya anak untuk menceritakan apapun yang terjadi. Tunjukkan bahwa kita peduli.

Terimalah anak-anak kita, jangan memberi stigma yang buruk kepada mereka. Terapkan kebiasaan-kebiasaan baik, berfikir, berkata, dan bertindak baik. 

Orangtua harus terlibat aktif memperhatikan tumbuh kembang anaknya. Karena ketika ikatan dengan orangtua berkurang, maka ikatan dengan teman sepergaulannya kian menguat. Mereka akan berafiliasi/berkelompok, sebagai motif untuk melakukan tindak bullying kepada temannya yang lain.

Biasakan diri berbuat baik agar anak kita, adik-adik kita, dan siswa kita dapat mencontoh hal baik yang kita lakukan.

Sumber:

Suwandi, "Sinergitas Metode Habitus dan Habit dalam Antisipasi dan Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) dalam buku "Mengelola Keragaman di Sekolah Gagasan dan Pengalaman Guru".

Diskusi Grup Whatapp "Guru Belajar Semarang" narasumber Indah Laras dengan tema "Bullying di Sekolah, Tanggung Jawab Siapa?"

Tulisan terkait: Jangan Remehkan Pelecehan Seksual Sekecil Apapun!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun