Media sosial menjadi media untuk menunjukkan kebahagiaan, pencapaian atas sesuatu yang telah diraih, bahkan tak jarang digunakan untuk curhat colongan. Mendapat ucapan selamat dan simpati menjadi kepuasan tersendiri. Bahkan merasa tak enak hati jika tidak turut mengucapkan kebahagiaan teman lewat media sosial.
Hidup di era serba digital saat ini membuat mindset setiap orang merasa akan dikucilkan jika tidak memiliki satu akun media sosial saja. Kepemilikan semua akun media sosial menjadi pembahasan utama ketika berkumpul dengan sejawat. Ketika berkumpul, malah sibuk dengan smartphone masing-masing, yang penting foto dan unggah ke media sosialnya. Mengejar like dan comment yang banyak. Rasanya seluruh dunia harus tahu, sedang berada di mana.
Sekalinya berbincang, membahas gosip dan tokoh selebriti -yang entah apa prestasinya- dengan lugas seperti sudah hafal di luar kepala. Bagaimana tidak di luar kepala? Rasa ingin tahunya begitu besar. Tidak ada untungnya, yang untung tokoh selebritinya. Menjadi headline di mana--mana.
Yang lebih parah, menelan mentah-mentah informasi yang didapat dari official account yang belum tentu ke-official-annya. Membahas dan menyebarkan informasi tersebut ke mana-mana hingga hoax menjadi kata yang paling sering menjadi trending topic.
Toxic-nya media sosial membuat kepedulian akan sekitar berkurang. Perlu diingat, kita boleh mengikuti perkembangan jaman bahkan harus, tapi harus menggunakan media sosial dengan sehat. Melalui media sosial, kita dapat bersilaturahmi dengan kerabat lama. Tapi masih orang di sekitar yang perlu diperhatikan. Orang-orang di sekitar lebih memerlukan pelukan hangat serta  ungkapan rasa sayang dan terima kasih yang tulus, dari pada hanya forward.