Beberapa hari terakhir, kabar mundurnya ratusan guru Sekolah Rakyat mencuat. Mereka yang awalnya siap menjalankan tugas ke berbagai penjuru negeri kini menarik diri.Â
Alasannya? Penempatan terlalu jauh dari domisili, kurangnya kesiapan infrastruktur, dan absennya perlindungan negara bagi pendidik nonformal. Satu demi satu mundur, dalam diam yang memekakkan telinga.
Namun ini bukan sekadar soal logistik. Ini adalah gejala krisis yang lebih dalam: ketika semangat mendidik rakyat tak lagi sejalan dengan arah kebijakan negara.Â
Ketika guru memilih mundur, pertanyaan dasarnya bukan kenapa mereka pergi tetapi kenapa negara tak bisa membuat mereka bertahan?
Mengapa Mereka Mundur?
Program Sekolah Rakyat diluncurkan sebagai bentuk kehadiran negara di wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). Tujuannya mulia: menjangkau anak-anak yang selama ini tercecer dari sistem pendidikan formal.Â
Dalam pelaksanaannya, pemerintah merekrut 1.469 guru dari jalur seleksi nasional. Namun belum sebulan berjalan, sekitar 143 guru telah mundur, terutama karena penempatan tidak realistis secara geografis dan logistik (Medcom, 31 Juli 2025).
Jika dihitung mundur dalam tiga hari terakhir saja, rata-rata sekitar 40 hingga 70 guru mundur setiap harinya. Ini bukan angka kecil.Â
Sekitar 10 persen dari total formasi awal memilih undur diri sebelum benar-benar mengajar. Situasi ini membuktikan bahwa semangat tidak cukup tanpa perencanaan yang matang dan dukungan yang layak.
Menteri Koordinator PMK dan Mendikbudristek berdalih bahwa pengunduran ini "tidak akan mengganggu proses belajar" karena masih ada 50.000 guru yang belum ditempatkan.Â