Mohon tunggu...
santy121231128
santy121231128 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya hobi dalam aktivitas fisik seperti renang dan lari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diskursus Pajak Penghasilan Pada Bentuk Usaha (BUT) : Perbedaan Subjek Pajak WP Badan Vs BUT

22 Juni 2025   10:51 Diperbarui: 22 Juni 2025   10:51 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama : Santy

NIM : 121231128

Nama Kampus : Universitas Dian Nusantara

Matkul : Akuntansi Perpajakan

Nama Dosen : Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Judul Tema Kuis 10 : Diskursus  PAJAK PENGHASILAN PADA BENTUK USAHA TETAP (BUT): Perbedaan Subjek Pajak WP Badan Vs BUT

Sistem perpajakan di Indonesia merupakan pilar penting dalam menjaga stabilitas dan kemandirian fiskal negara. Di tengah perkembangan ekonomi global dan semakin terbukanya pasar internasional, berbagai bentuk kegiatan usaha lintas negara pun berkembang pesat, termasuk di Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi penting dalam bidang perpajakan, di mana negara perlu merancang sistem yang mampu mengenakan pajak secara adil, efektif, dan berkeadilan terhadap pelaku usaha baik dari dalam maupun luar negeri.

Dalam konteks tersebut, pemerintah Indonesia mengatur dua kategori utama subjek pajak badan usaha, yaitu Wajib Pajak Badan (WP Badan) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). WP Badan adalah badan usaha atau organisasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan menjalankan kegiatan usaha dalam negeri. Sementara itu, BUT merupakan perpanjangan tangan dari entitas luar negeri yang menjalankan aktivitas bisnis di Indonesia namun tidak mendirikan badan hukum tersendiri di wilayah yuridiksi Indonesia.

Pembeda utama antara WP Badan dan BUT terletak pada asal entitas, yurisdiksi hukum, dan ruang lingkup penghasilan yang dikenai pajak. WP Badan tunduk pada prinsip pemajakan atas penghasilan global (worldwide income), sedangkan BUT hanya dikenai pajak atas penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha di Indonesia (source-based income). Dalam praktiknya, keberadaan BUT di Indonesia sering kali menjadi pusat perhatian otoritas pajak karena berpotensi besar dalam menghasilkan pendapatan negara, namun juga rentan terhadap praktik penghindaran pajak melalui penyalahgunaan tax treaty atau struktur usaha yang tidak transparan.

Perbedaan ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi mencerminkan strategi negara dalam menjawab tantangan globalisasi ekonomi. Dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang melakukan ekspansi ke Indonesia, pengaturan mengenai BUT menjadi semakin relevan. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara aktif menyusun kebijakan dan regulasi untuk memperjelas definisi, kriteria, serta perlakuan pajak atas BUT guna melindungi hak pemajakan Indonesia.

Pemahaman mendalam mengenai perbedaan antara WP Badan dan BUT sangat krusial, khususnya bagi mahasiswa akuntansi dan para profesional perpajakan. Hal ini tidak hanya penting dalam aspek akademis, tetapi juga dalam praktik dunia nyata, di mana para pelaku bisnis dituntut untuk memahami implikasi perpajakan dari struktur usaha mereka. Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sistematis mengenai konsep dasar, alasan perbedaan, hingga penerapan melalui studi kasus aktual, sehingga diharapkan mampu memberikan pemahaman komprehensif terhadap perpajakan atas WP Badan dan BUT.


WHAT


Wajib Pajak Badan adalah badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia. WP Badan mencakup perusahaan lokal seperti Perseroan Terbatas (PT), koperasi, yayasan, firma, CV, serta bentuk lain yang diakui sebagai subjek pajak menurut undang-undang perpajakan di Indonesia. WP Badan dikenakan pajak atas seluruh penghasilan, baik yang diperoleh di dalam negeri maupun luar negeri, sesuai prinsip worldwide income.


(PPT Undira)
(PPT Undira)

BUT adalah bentuk atau badan usaha yang digunakan oleh subjek pajak luar negeri---baik orang pribadi maupun badan usaha asing---untuk menjalankan kegiatan usaha di Indonesia. BUT bukanlah badan hukum yang berdiri sendiri di Indonesia, melainkan bagian dari perusahaan induk asing yang menjalankan aktivitas ekonomi secara tetap dan berkelanjutan di wilayah Indonesia. BUT dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari kegiatan di dalam negeri.

Definisi BUT menurut UU No.36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (5) mencakup:

  • Tempat kedudukan manajemen;

  • Cabang perusahaan;

  • Kantor perwakilan;

  • Pabrik;

  • Proyek konstruksi atau instalasi lebih dari 183 hari;

  • Orang atau badan sebagai agen tidak bebas;

  • Perusahaan asuransi asing yang menjual produk di Indonesia.

    (PPT Undira)
    (PPT Undira)
  1. UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 2 ayat (5):

    • Mengatur bahwa BUT merupakan subjek pajak luar negeri.

    • Artinya, BUT adalah perwakilan entitas luar negeri yang memiliki kewajiban pajak atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia.

  2. PMK No. 35/PMK.03/2019 Pasal 4 ayat (2):

    • Memberikan penjelasan teknis mengenai kriteria dan bentuk usaha yang bisa dikategorikan sebagai BUT.

  3. UU No. 30 Tahun 2007 (tentang Energi) Pasal 1 ayat (13):

    • Menjelaskan mengenai kegiatan usaha energi, yang juga menjadi bagian dari aktivitas usaha yang bisa dilakukan oleh BUT, terutama dalam sektor eksplorasi dan eksploitasi sumber daya.

  4. PP No. 23 Tahun 2015 Pasal 1 ayat (25):

    • Mengatur tentang kerja sama pengelolaan sumber daya, termasuk di Aceh, yang sering melibatkan badan usaha luar negeri dalam bentuk BUT.

      Kriteria BUT Menurut PMK NO. 35/PMK.03/2019 Pasal 4 Ayat 1

      (PPT Undira)
      (PPT Undira)

Jenis-Jenis BUT

(PPT Undira)
(PPT Undira)

1. BUT Aktiva (Asset-Based Permanent Establishment)

BUT ini timbul dari keberadaan aset fisik milik entitas luar negeri yang digunakan untuk menjalankan usaha di Indonesia. Keberadaan aset tersebut menjadi indikator adanya tempat usaha permanen.

Contoh:

  • Tempat kedudukan manajemen (management office)

  • Kantor cabang

  • Kantor perwakilan

  • Gedung kantor

  • Pabrik atau fasilitas produksi

Penjelasan:

Jika sebuah perusahaan asing membuka pabrik atau kantor cabang di Indonesia dan menggunakan fasilitas tersebut secara tetap, maka entitas tersebut telah memenuhi syarat sebagai BUT Aktiva. Aset fisik menjadi bukti kehadiran usaha secara permanen.

2. BUT Aktivitas (Activity-Based Permanent Establishment)

BUT ini muncul karena adanya aktivitas usaha tertentu yang dilakukan secara berkelanjutan di Indonesia, meskipun tanpa aset fisik tetap. Yang menjadi penilaian adalah durasi dan sifat kegiatan yang dilakukan.

Contoh:

  • Proyek konstruksi, instalasi, atau perakitan

  • Pemberian jasa (oleh tenaga kerja asing) yang dilakukan lebih dari 60 hari dalam 12 bulan

Penjelasan:

Misalnya, perusahaan Jepang melakukan proyek pembangunan pabrik di Surabaya selama 4 bulan. Meskipun tidak membentuk badan hukum atau memiliki kantor tetap, kegiatan ini bisa dikategorikan sebagai BUT Aktivitas karena memenuhi kriteria waktu dan jenis kegiatan.

3. BUT Keagenan (Dependent Agent Permanent Establishment)

BUT jenis ini timbul jika ada agen atau perantara di Indonesia yang bertindak atas nama perusahaan asing, dan posisi agen tersebut tidak independen secara hukum dan ekonomi (dependent agent).

Contoh:

  • Orang atau badan yang bertindak sebagai agen eksklusif

  • Agen yang berwenang menandatangani kontrak atas nama perusahaan asing

  • Agen yang secara rutin menjalankan transaksi atas nama prinsipal luar negeri

Penjelasan:

Misalnya, seorang agen di Indonesia menjual alat berat atas nama perusahaan Korea dan punya wewenang menandatangani kontrak langsung dengan pembeli. Agen ini menciptakan BUT Keagenan untuk prinsipal luar negeri tersebut karena tidak berdiri independen.

4. BUT Asuransi

BUT ini timbul dari aktivitas perusahaan asuransi luar negeri yang menerima premi atau menanggung risiko atas objek asuransi di Indonesia, tanpa membentuk badan usaha di Indonesia.

 Contoh:

  • Agen atau pegawai perusahaan asuransi asing yang:

    • Menjual polis asuransi

    • Menerima premi dari nasabah di Indonesia

    • Menanggung risiko aset atau individu di wilayah Indonesia

Penjelasan:

Perusahaan asuransi luar negeri yang mengoperasikan bisnis di Indonesia melalui agen tanpa lisensi lokal tetap dikenai pajak karena membentuk BUT Asuransi. Hal ini untuk mencegah penghindaran pajak atas kegiatan usaha yang sebenarnya berlangsung di dalam negeri.

WHY

(PPT UNDIRA)
(PPT UNDIRA)


Alasan Ditetapkannya Bentuk Usaha Tetap (BUT) dalam Sistem Perpajakan Indonesia :

1. Kegiatan Usaha Asing di Indonesia Terus Berkembang

Dengan semakin terbukanya arus investasi global, banyak perusahaan asing menjalankan kegiatan usaha di Indonesia tanpa mendirikan badan hukum lokal. Tanpa pengaturan khusus seperti BUT, hal ini bisa menimbulkan celah penghindaran pajak, karena perusahaan asing tetap memperoleh penghasilan dari Indonesia namun tidak memiliki kewajiban pajak yang jelas.

2. Legalitas dan Kepastian Hukum

BUT memberikan landasan legal bagi otoritas pajak Indonesia untuk mengenakan pajak kepada perusahaan asing yang menjalankan usaha secara tetap di Indonesia. Artinya, meskipun perusahaan asing tidak membuat PT atau CV, mereka tetap tidak dapat menghindar dari kewajiban perpajakan.

3. Hubungan dengan P3B (Tax Treaty)

BUT sangat penting dalam konteks perjanjian pajak internasional. Dalam kebanyakan tax treaty, suatu negara tidak boleh mengenakan pajak atas laba usaha perusahaan asing kecuali jika perusahaan tersebut memiliki BUT di negara tersebut. Dengan adanya BUT:

  • Indonesia berhak memajaki laba usaha asing yang "nyata" dihasilkan di Indonesia.

Mencegah terjadinya double taxation (pemajakan dua kali di dua negara) dan double non-taxation (tidak dikenakan pajak di mana pun).

 4. Perlakuan Pajak Khusus

Menurut Pasal 2 ayat (1a) UU No. 36 Tahun 2008, BUT diperlakukan seperti WP Badan dalam perpajakan, meskipun secara hukum bukan badan tersendiri. Ini menunjukkan bahwa BUT adalah "jalan tengah" antara badan usaha dan cabang asing yang memiliki fungsi ekonomi nyata di Indonesia.

5. Perlindungan Terhadap Basis Pajak Nasional

Tanpa pengaturan BUT:

  • Banyak potensi penerimaan pajak hilang.

  • Negara asing dapat mengambil laba dari Indonesia tanpa menyumbang kepada APBN.

  • Keadilan fiskal terganggu, karena pelaku usaha dalam negeri dikenai pajak, sedangkan entitas asing tidak.


    HOW

    (PPT Undira)
    (PPT Undira)

    PERBEDAAAN WAJIB PAJAK DALAM NEGERI DAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI :

    (PPT UNDIRA)
    (PPT UNDIRA)

1. Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN)

Wajib Pajak Dalam Negeri adalah subjek pajak yang berdomisili atau tinggal di Indonesia, baik orang pribadi maupun badan hukum. Mereka dikenai pajak atas seluruh penghasilan yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Ini mengikuti prinsip pemajakan global income (worldwide income), karena WPDN dianggap sebagai penduduk fiskal Indonesia.

Contoh:

  • Orang pribadi warga negara Indonesia yang tinggal di Jakarta.

  • Perusahaan lokal seperti PT, CV, atau koperasi yang didirikan di Indonesia.

Karena status domisilinya, WPDN memiliki kewajiban pajak penuh (unlimited tax liability).

 2. Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN)

Sebaliknya, Wajib Pajak Luar Negeri adalah subjek pajak yang tidak tinggal atau tidak berdomisili di Indonesia, namun memperoleh penghasilan dari sumber di Indonesia. Ini bisa berupa orang pribadi asing, badan asing, atau perusahaan asing.

WPLN hanya dikenai pajak atas penghasilan yang berasal dari Indonesia saja, mengikuti prinsip source-based taxation. Mereka tidak dikenai pajak atas penghasilan dari luar negeri karena bukan subjek pajak penuh.

Contoh:

  • Konsultan dari luar negeri yang memberikan jasa ke perusahaan Indonesia.

  • Perusahaan asing yang mendapat royalti dari lisensi di Indonesia.

    Perbedaan Subjek Pajak WP Badan Vs BUT

(PPT UNDIRA)
(PPT UNDIRA)

(PPT Undira)
(PPT Undira)

Contoh Kasus :

PT Mandala Nusantara adalah perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang berdiri dan berkedudukan di Indonesia. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan alat-alat kesehatan dan telah menjalin kerja sama dengan GlobalMed GmbH, sebuah perusahaan dari Jerman.

GlobalMed tidak mendirikan perusahaan baru di Indonesia, tetapi mengirimkan tim teknisi dan perwakilan penjualan untuk mendukung distribusi produk dan memberikan pelatihan ke rumah sakit rekanan di Jakarta dan Surabaya. Aktivitas mereka dilakukan secara terus-menerus selama 8 bulan dalam satu tahun fiskal. Mereka juga menyewa ruang kantor kecil di Jakarta untuk kegiatan operasional.

Analisis Perpajakan:

Situasi PT Mandala Nusantara (WP Badan):

Sebagai perusahaan berbadan hukum Indonesia, PT Mandala Nusantara adalah Wajib Pajak Badan (WPDN). Karena itu:

  • Wajib memiliki NPWP dan melaporkan SPT tahunan.

  • Wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) atas seluruh penghasilannya, baik dari dalam maupun luar negeri (worldwide income).

  • Dikenai PPh Badan sesuai tarif yang berlaku dalam UU Pajak Penghasilan (UU No. 36 Tahun 2008).

Situasi GlobalMed GmbH (BUT):

GlobalMed tidak membentuk badan hukum di Indonesia, tapi:

  • Memiliki tempat usaha tetap (kantor sewa di Jakarta),

  • Menjalankan kegiatan usaha (pelatihan dan distribusi produk),

  • Melakukan kegiatan lebih dari 183 hari secara kumulatif.

Dengan demikian, berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008 dan PMK No. 35/PMK.03/2019, kegiatan GlobalMed di Indonesia memenuhi syarat sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Artinya, meskipun GlobalMed tidak mendirikan perusahaan resmi di Indonesia, pemerintah Indonesia berhak mengenakan Pajak Penghasilan atas kegiatan usaha yang dilakukan oleh GlobalMed di wilayah Indonesia.

Kesimpulan Kasus:

  • PT Mandala Nusantara dikenai pajak atas semua penghasilan karena statusnya sebagai WP Badan (Wajib Pajak Dalam Negeri).

  • GlobalMed GmbH meskipun tidak mendirikan perusahaan di Indonesia, dikategorikan sebagai BUT dan dikenai pajak hanya atas penghasilan dari kegiatan di Indonesia karena dianggap sebagai Wajib Pajak Luar Negeri dengan BUT.

    Daftar Pustaka :

    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008
    Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
    - Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 35/PMK.03/2019
    Tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap.
    - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007
    Tentang Energi.
    - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015
    Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
    - Direktorat Jenderal Pajak. (2022). Pedoman Umum Perpajakan: Bentuk Usaha Tetap. Jakarta: Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
    - Gyan dan Deva. (2023). Bentuk Usaha Tetap: Tarif Pajak, Jenis, dan Contohnya. Pajakku.
    https://www.pajakku.com/read/63b3a8b1b577d80e80fb89d4/Bentuk-Usaha-Tetap:-Tarif-Pajak-Jenis-dan-Contohnya
    - Linda Handayani. (2023). Apa Itu Penghindaran Pajak Berganda (P3B)? Apakah Sama dengan Tax Treaty? Pajakku.
    https://www.pajakku.com/read/634f6d54b577d80e8004d706/Apa-itu-Penghindaran-Pajak-Berganda-(P3B)
    -Hilda Nurhidayah. (2023). Berbagai Contoh Bentuk Usaha Tetap (BUT). Pajak.com.
    https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/berbagai-contoh-bentuk-usaha-tetap-but
    - Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak. (2025). Modul 10: Pajak Penghasilan pada Bentuk Usaha Tetap (BUT): Perbedaan Subjek Pajak WP Badan vs BUT. Universitas Dian Nusantara, Jakarta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun