Anak-anak pelaku bullying dapat dikatakan memiliki pola pikir yang bergeser dibanding anak lain yang tumbuh dalam lingkungan yang aman dan hangat. Memori kekerasan yang mereka simpan dalam otak mereka dan rasa takut yang mereka tumpuk dalam amygdala dan hippocampus mengurangi stimulasi pada area prefrontal cortex mereka, membuat mereka mengambil keputusan yang sulit dilogika oleh orang normal, mereka kesulitan memilih antara yang baik dengan buruk, antara benar atau salah.Â
Mereka berpikiran bahwa bullying adalah solusi logis untuk meningkatkan harga diri dan status mereka dalam hierarki sosial. Pengalaman-pengalaman tidak diterima dan tidak dicintai di masa lalu membuat mereka berusaha diterima di lingkungan sosial dengan menindas yang lemah, bukan dengan meningkatkan kualitas diri mereka, perasaan tidak berdaya di rumah membuat mereka ingin mempunyai kontrol terhadap orang lain.
Semoga melalui artikel ini, kita bisa lebih memahami bahwa bullying bukanlah hal yang sederhana. Tidak ada asap bila tidak ada api, tidak ada anak yang sekonyong-konyong memiliki kebiasaan bersikap keras dan kejam, dan secara tiba-tiba menjadi pelaku bullying. Ada cerita di balik tindakan mereka, ada akar kepahitan yang harus diatasi. Oleh karena itu, dalam mendidik anak pelaku bullying, kasih sayang dan penerimaan adalah hal utama yang perlu diberikan, jangan hanya menghukum atau memarahi tanpa memberikan cinta dan pemahaman. Bencilah perbuatannya, jangan membenci anaknya!
Referensi:
Rossouw, P.J. (2012). Bullying: A Neurobiological Perspective. Neuropsychotherapy in Australia 15:3-9.
Neufeldinstitute.org