Program Sekolah Penggerak (PSP) diluncurkan sebagai upaya reformasi pendidikan untuk mendorong transformasi satuan pendidikan melalui pendekatan kepemimpinan pembelajaran dan budaya sekolah yang berpihak pada murid. Namun, dengan terbitnya Keputusan Mendikdasmen Nomor 14/M/2025, Program Guru Penggerak Dihentikan. Artikel ini menganalisis kelemahan PSP berdasarkan pendekatan ilmiah pendidikan, mencakup ketimpangan akses, implementasi yang tidak seragam, dan lemahnya dukungan kelembagaan. Dalam konteks dinamika politik dan kebijakan publik, penghentian ini dapat dibaca bukan sebagai kegagalan mutlak, melainkan sebagai refleksi terhadap perlunya desain kebijakan pendidikan yang lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan. Temuan ini merekomendasikan agar prinsip-prinsip positif dari PSP tetap dijaga dan diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional secara lebih sistematis dan terstruktur.
Program Sekolah Penggerak (PSP) digagas sebagai inisiatif strategis Kemendikbudristek untuk mentransformasi pendidikan Indonesia melalui pendekatan pembelajaran yang berpihak pada murid, penguatan kepemimpinan sekolah, dan kolaborasi guru. Program ini menjadi wadah aktualisasi bagi para pendidik yang ingin membawa perubahan di sekolah masing-masing dengan semangat gotong-royong dan inovasi. Namun, seperti banyak kebijakan pendidikan lainnya, PSP menghadapi tantangan dalam implementasi, terutama ketika dihadapkan pada kompleksitas sistem pendidikan Indonesia yang sangat beragam.
Dengan terbitnya Keputusan Mendikdasmen Nomor 14/M/2025, Program Guru Penggerak Dihentikan secara resmi. Kebijakan ini menimbulkan berbagai tanggapan, dari keprihatinan terhadap potensi hilangnya momentum perubahan, hingga pertanyaan mengenai efektivitas dan relevansi program tersebut dalam jangka panjang. Artikel ini bertujuan memberikan analisis ilmiah terhadap kelemahan-kelemahan PSP berdasarkan literatur kebijakan pendidikan, serta mempertimbangkan faktor politik, birokrasi, dan konsistensi visi pembangunan pendidikan nasional.
Penghentian Program Sekolah Penggerak bukan semata-mata cermin dari kegagalan, tetapi mencerminkan adanya tantangan mendalam dalam implementasi kebijakan pendidikan yang bersifat top-down di tengah sistem yang terdesentralisasi. Kelemahan PSP meliputi ketimpangan akses, pendekatan yang belum kontekstual terhadap kondisi lokal, ketergantungan pada aktor individu tanpa penguatan kelembagaan, dan kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Ditambah dengan lemahnya evaluasi berbasis data dan dinamika politik yang memengaruhi kesinambungan kebijakan, program ini mengalami hambatan struktural yang signifikan.
Meskipun demikian, nilai-nilai luhur dari PSP seperti pembelajaran berpihak pada murid, kolaborasi guru, dan kepemimpinan transformatif tetap relevan dan tidak seharusnya dihapuskan begitu saja. Kebijakan baru yang akan menggantikan PSP sebaiknya menyerap esensi terbaik program ini, dengan perbaikan menyeluruh pada aspek desain, pelaksanaan, dan pengawasan berbasis data. Pendidikan yang bermutu tidak dibentuk oleh program sesaat, tetapi oleh arah kebijakan yang konsisten dan berkelanjutan.
 Kelemahan Program Sekolah Penggerak (PSP)
Meskipun Program Sekolah Penggerak (PSP) telah memberikan kontribusi positif terhadap transformasi pembelajaran di sejumlah sekolah, program ini tidak luput dari berbagai kelemahan struktural dan implementatif yang perlu ditinjau secara ilmiah. Salah satu kelemahan mendasar terletak pada ketimpangan akses. Banyak sekolah di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) kesulitan mengikuti ritme program karena keterbatasan infrastruktur digital, SDM yang belum siap, dan akses pelatihan yang terbatas. Ketika desain program bersifat nasional, namun realitas di lapangan sangat beragam, maka disparitas menjadi tantangan utama.
Desain top-down yang tidak sepenuhnya adaptif terhadap kondisi lokal. Meskipun program ini secara konsep ingin mendorong kepemimpinan transformatif dan pembelajaran kontekstual, banyak guru dan kepala sekolah merasa terbebani oleh indikator-indikator administratif yang rigid. Dalam kajian policy implementation, keberhasilan suatu program tidak hanya tergantung pada desain, tetapi pada adaptabilitasnya di tingkat pelaksana (Pressman & Wildavsky, 1973). Ketika pelaku di sekolah tidak cukup diberdayakan untuk melakukan adaptasi lokal, maka muncul resistensi dan keterasingan terhadap semangat program itu sendiri.
Ketergantungan pada figur pemimpin perubahan yang terbatas jumlahnya. PSP terlalu menggantungkan harapan pada Guru Penggerak dan Kepala Sekolah Penggerak. Padahal perubahan sistemik memerlukan ekosistem kolaboratif yang melibatkan seluruh warga sekolah, termasuk tenaga kependidikan, komite sekolah, dan pemerintah daerah. Tanpa penguatan kelembagaan secara menyeluruh, perubahan akan bersifat individual dan tidak berkelanjutan.
Kebijakan belum sepenuhnya didukung oleh sinergi lintas level pemerintahan. Banyak guru dan kepala sekolah mengeluhkan kurangnya dukungan dari dinas pendidikan daerah, terutama dalam hal alokasi anggaran, integrasi program dengan kegiatan rutin, dan pengakuan formal terhadap capaian Guru Penggerak. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Tanpa pendekatan kolaboratif antarlembaga, kebijakan sebaik apa pun akan tersendat di jalur birokrasi.