jika tanah boleh kau bolong-bolongi demi penataan bumi ala kepalamuÂ
maka kami boleh pula memukuli kepalamu dengan tangan-tangan ala kamiÂ
kosong tak berbesi hanya berdiksiÂ
jika rumahku, kawanku, Â ibuku, Â dan bapakku boleh kau ratakan dengan mesin raksasamuÂ
maka jangan halangi kami berdiri menunjuk hidungmu dengan teriakan-teriakan puisiÂ
kenapa kau rusak tanah kami?
tempat kami dilahirkanÂ
tempat kami menanam pohon-pohon kasihÂ
tempat kami mencari pangan kami sendiri memenuhi perut-perut kami dan anak-anak kamiÂ
tanah-tanah ini pemilik kasih yang tiada hentiÂ
seratnya memeluk erat akar padi mengairi batang tubuhnya dan lihatlah!Â
tanah ini menghidupi kami mulai pagi sampai malam hariÂ
tanah ini membentuk candi-candi jati diriÂ
membangun senyum-senyum pribumiÂ
maka jangan halangi suara-suara iniÂ
kami tak bisa bisu melihat serakahmuÂ
kami tak bisa kaku meski kau ikat dengan tali lidah berdurimuÂ
kami tak butuh rupiah yang mengenyangkan perut kami tapi tidak menghidupi kami dan anak cucu kamiÂ
jangan halangi kami menerka pagi melongok sepiÂ
membaca hariÂ
menulis puisiÂ
jangan bungkam puisi kami!