Mohon tunggu...
Rasya Athalla Aaron
Rasya Athalla Aaron Mohon Tunggu... Freelancer - bukan anak senja

Hi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Electoral College, Sistem Pemilu Amerika Serikat

25 November 2019   12:09 Diperbarui: 4 November 2020   14:27 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pemilu di AS. (sumber: shutterstock via jeo.kompas.com)

Sebagai contoh, jika kandidat republikan mendapat 51% suara dan kandidat demokrat mendapat 49% di Ohio, maka Ohio akan memberi seluruh 18 suara electoralnya pada kandidat republikan dan mengabaikan keinginan hampir setengah suara rakyat. 

Jika pemilu negara bagian sengit seperti ini terjadi di seluruh Amerika Serikat, maka terdapat kemungkinan bahwa dalam suatu pemilu, terpilih seorang kandidat yang kalah dalam persentase popular vote (total jumlah suara rakyat) namun menang dalam Electoral College. Kejadian janggal seperti itu terjadi karena sistem Electoral College mementingkan suara negara bagian, bukan suara rakyat.

Kejadian kontroversial seperti diatas bukanlah suatu skenario buatan, melainkan sudah menjadi kenyataan 4 kali dalam sejarah; pemilu 1876 antara kandidat republikan Rutherford B. Hayes dan kandidat demokrat Samuel J. Tilden dimana Tilden mendapatkan lebih dari 50% suara namun kalah.

Pemilu 1888 antara kandidat republikan Benjamin Harrison dan kandidat demokrat presiden menjabat Grover Cleveland, pemilu 2000 antara kandidat republikan gubernur Texas George W. Bush dan kandidat demokrat wakil presiden Al Gore saat pemilu sengit bergantung pada Florida dan dimenangkan Bush dengan margin 537 suara.

Dan pemilu 2016 antara kandidat republikan Donald J. Trump dan kandidat demokrat Sekretaris Negara Hillary Clinton dimana Clinton unggul 3 juta suara popular vote diatas Trump, namun kalah di Electoral College dengan 304 suara untuk Trump dan 227 untuk Clinton walau menang di New York (29) dan California (55).

Hasil dari pemilu 2016 menimbulkan kesadaran akan salah satu masalah besar lain yang terjadi setiap pemilu presidential Amerika Serikat; voter turnout, atau jumlah pemilih. 

Dalam pemilu 2016, total persentase pemilih yang menggunakan hak suaranya hanyalah 54.7% dari 250,056,000 jumlah voting age population. Hal ini bukan sesuatu yang baru terjadi di pemilu 2016; persentase voter turnout Amerika Serikat jarang sekali melebihi 70%, karena apatisme politik yang mendarah daging, kurangnya rekrutmen politik, dan kekecewaan rakyat, terutama kaum muda, terhadap politik Amerika. 

Dibandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia yang pemilu 2019nya mendapat voter turnout sebesar 81.93%, terlihat memalukan bahwa negara pelindung demokrasi seperti Amerika Serikat untuk memiliki rakyat yang tidak aktif dalam demokrasi itu sendiri.


Sumber:
britannica.com
nytimes.com
guides.libraries.psu.edu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun