Hubungan antara China dan Taiwan kini berada di salah satu titik paling tegang dalam sejarah modern Asia Timur. Meski belum pecah menjadi perang terbuka, keduanya sudah terlibat dalam konflik yang lebih halus, kompleks, dan berlapis: perang hibrida.
Bentuk perang ini tidak lagi mengandalkan peluru atau tank semata, melainkan strategi yang menggabungkan kekuatan militer, siber, diplomasi, informasi, dan ekonomi untuk menundukkan lawan tanpa harus menembakkan peluru pertama.
Apa Itu Perang Hibrida?
Perang hibrida adalah strategi yang memadukan metode perang konvensional dan non-konvensional, termasuk propaganda, siber, disinformasi, dan tekanan ekonomi. Tujuannya bukan hanya mengalahkan musuh secara militer, tetapi juga menguasai persepsi publik, menggoyahkan stabilitas internal, dan melemahkan kepercayaan terhadap pemerintah.
Dalam konteks China dan Taiwan, medan tempurnya tidak hanya di Selat Taiwan, tetapi juga di dunia maya, media sosial, lembaga internasional, bahkan di pikiran masyarakatnya sendiri.
Dimensi Politik: Upaya Delegitimasi Taiwan
China menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri, sedangkan Taiwan menegaskan identitasnya sebagai negara berdaulat dengan sistem demokrasi. Dalam kacamata Beijing, status ini adalah luka sejarah yang harus disembuhkan.
Namun, daripada langsung melancarkan invasi, China menggunakan strategi politik global. Beijing menekan negara-negara agar tidak mengakui Taiwan, menarik dukungan diplomatiknya, dan bahkan memengaruhi lembaga-lembaga internasional agar mengecualikan Taiwan dari partisipasi resmi.
Inilah esensi perang hibrida: menang tanpa bertempur, dengan membangun isolasi politik yang perlahan melemahkan posisi Taiwan di mata dunia.
Serangan Siber dan Disinformasi: Medan Tempur Tak Terlihat