Dalam dinamika geopolitik kontemporer, istilah perang hibrida atau hybrid warfare menjadi konsep sentral dalam memahami bentuk-bentuk konflik baru antarnegara. Perang hibrida merujuk pada strategi yang menggabungkan unsur militer konvensional, operasi siber, propaganda, perang ekonomi, hingga perang psikologis.
Dalam konteks modern, persaingan antara NATO dan Rusia merupakan contoh paling nyata dari perang hibrida yang tidak hanya terjadi di medan tempur secara fisik, tetapi juga di ruang digital, ekonomi, dan diplomasi.
Konflik yang berlangsung antara NATO dan Rusia, terutama setelah invasi Rusia ke Ukraina tahun 2022, menunjukkan bagaimana kedua kekuatan besar tersebut menggunakan instrumen hibrida untuk memperjuangkan kepentingan strategisnya tanpa harus terlibat dalam perang terbuka.
Bagi Rusia, perang hibrida merupakan perpanjangan dari doktrin militer yang disebut "Doktrin Gerasimov", yang dikembangkan oleh Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Rusia, Valery Gerasimov.
Doktrin ini menekankan pentingnya memadukan aspek politik, ekonomi, diplomatik, informasi, dan militer dalam menciptakan kekacauan di wilayah lawan tanpa harus mendeklarasikan perang secara resmi.
Sementara bagi NATO, perang hibrida dilihat sebagai ancaman terhadap stabilitas kolektif karena sulit diidentifikasi, sulit diklasifikasikan sebagai agresi terbuka, dan sering kali terjadi di bawah ambang batas perang konvensional yang sah secara hukum internasional.
Salah satu dimensi utama dari perang hibrida NATO vs Rusia adalah perang informasi. Rusia dikenal sangat mahir dalam menggunakan propaganda digital, media sosial, dan saluran berita seperti Russia Today dan Sputnik untuk membentuk opini publik global. Strateginya adalah menciptakan keraguan terhadap institusi Barat, memecah belah masyarakat melalui isu politik dan sosial, serta memperkuat narasi anti-NATO di berbagai negara.
Misalnya, selama invasi Ukraina, Rusia menyebarkan klaim bahwa NATO telah "mengepung" Rusia dan memprovokasi perang melalui perluasan wilayahnya ke timur. Narasi ini diproyeksikan ke publik internasional untuk menjustifikasi tindakan militer Rusia.
Sebaliknya, NATO juga menggunakan strategi kontra-propaganda. Melalui lembaga seperti NATO Strategic Communications Centre of Excellence (StratCom COE), aliansi ini mengembangkan program melawan disinformasi Rusia dengan memanfaatkan kekuatan diplomatik dan teknologi informasi untuk membangun citra sebagai penjaga stabilitas dan demokrasi Barat.
Dalam dunia maya, perang narasi ini menjadi arena utama karena masyarakat global kini lebih mudah terpengaruh oleh informasi digital dari pada pernyataan resmi pemerintah. Dengan demikian, kemenangan dalam perang hibrida sering kali tidak ditentukan oleh kekuatan militer semata, melainkan oleh kemampuan menguasai persepsi publik.