Saya jadi ingat pertandingan bola. Pemain depan sudah berdiri tepat di garis offside. Kalau wasit jeli, ia bisa meniup peluit. Tapi kalau tidak, gol sudah telanjur masuk dan papan skor berubah.
Begitulah perdebatan antara Prof Didik J Rachbini (DJR) dengan Menkeu Purbaya Sadewa (PYS) di mata ekonom dan ahli keuangan public Yanuar Rizky.
DJR menuding keras: pemerintah sudah mengalokasikan SAL sebelum ada persetujuan DPR. Itu melanggar konstitusi.
PYS membalas: tidak, ini hanya soal memindahkan rekening kas dari Bank Indonesia ke bank-bank BUMN (Himbara). Bunga dapat, uang tetap kas negara. Masih aman.
Bagi yang jarang bersentuhan dengan akuntansi pemerintahan, kata SAL mungkin asing. Padahal ini kunci dari semua ribut-ribut itu. SAL (Saldo Anggaran Lebih) sebenarnya adalah akumulasi sisa anggaran yang tidak terpakai di APBN.
Persis seperti laba ditahan dalam laporan keuangan perusahaan. Disimpan di ekuitas. Jadi, ia bisa bertambah, bisa juga berkurang. Tapi kalau mau dipakai, ada aturan. Tidak bisa sembarangan. Harus lewat UU APBN, yang berarti lewat DPR.
Menurut saya, kalau mau tahu itu SAL atau expended funds, silakan uji substansi. Minta BPK masuk, lakukan audit berbasis norma substance over form. Seperti yang dilakukan Komisi XI dan Menkeu Agus Martowardoyo di tahun 2012
Jangan hanya lihat catatan formal di neraca, tapi telusuri arus uangnya, cek dokumen perjanjian bank, ikuti penempatan dan penggunaannya.
Baru bisa dibedakan: apakah itu sekadar kas menganggur (temporary Idle Funds) yang sah menambah SAL, atau sudah menjelma belanja terselubung yang seharusnya lewat persetujuan DPR.
Di sinilah logika hukum ketatanegaraan bermain. Sama seperti perusahaan: laba ditahan hanya bisa dipakai setelah diputuskan lewat RUPS. Pemerintah juga begitu: SAL hanya bisa dialokasikan lewat sidang paripurna DPR.