Salah satu arena paling aktif dalam perang hibrida ini adalah cyberspace. Serangan siber terhadap infrastruktur pemerintahan Taiwan meningkat tajam, terutama menjelang pemilu atau peristiwa politik penting.
Serangan tersebut meliputi peretasan data, penyebaran hoaks politik, dan kampanye disinformasi di media sosial. Tujuannya jelas: menanamkan keraguan terhadap keamanan dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan Taiwan.
Menurut laporan otoritas digital Taiwan, ribuan serangan siber terdeteksi setiap hari, sebagian besar berasal dari wilayah daratan Tiongkok. Serangan berulang ini bukan hanya gangguan teknis, melainkan senjata psikologis yang membentuk rasa takut dan ketidakpastian.
Propaganda dan Pengaruh Media
China juga memanfaatkan media, film, hingga influencer digital sebagai alat propaganda. Konten-konten yang menonjolkan "kedekatan budaya" antara kedua wilayah sering disebarkan untuk memperkuat narasi bahwa penyatuan adalah hal alami dan tidak dapat dihindari.
Sementara itu, media sosial menjadi ajang pertempuran opini. Narasi yang menggambarkan pemerintah Taiwan sebagai boneka Amerika atau tidak stabil sering kali disebarkan untuk mengikis semangat nasionalisme Taiwan.
Perang persepsi ini menjadi bagian penting dari strategi hibrida Beijing, sebab siapa yang menguasai narasi, dialah yang menguasai arah opini publik.
Tekanan Ekonomi: Senjata Tanpa Bunyi
Selain propaganda, senjata ekonomi juga memainkan peran besar. China adalah mitra dagang terbesar Taiwan, dan Beijing menggunakan ketergantungan ini sebagai alat tekanan politik.
Langkah seperti pelarangan ekspor produk pertanian Taiwan, penundaan izin impor, atau tekanan terhadap perusahaan global sering digunakan untuk menekan Taipei. Tujuannya bukan menghancurkan ekonomi secara langsung, tetapi membuat rakyat Taiwan kehilangan keyakinan terhadap pemerintahan mereka sendiri.
Latihan Militer: Tekanan Psikologis yang Nyata