Mohon tunggu...
Rizqi Yusuf Muliana
Rizqi Yusuf Muliana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

part-time writing, full-time overthinking

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik "Pork Barrel" dan Celengan Politisi di Tengah Pandemi

10 Juli 2020   16:18 Diperbarui: 10 Juli 2020   16:08 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika mempelajari bidang Ilmu Politik terdapat sebuah perilaku oleh actor politik yang dapat disebut patronase. Ini merupakan tindakan pembagian keuntungan dalam bentuk uang atau barang oleh politisi kepada konstituen agar mendapatkan dukungan politik. Praktik seperti ini sering terjadi saat kotestasi pemilu berlangsung di Indonesia. 

Menurut Peter Burke (2001:106), Patronase merupakan sistem politik yang berlandaskan pada hubungan pribadi antara pihak-pihak yang tidak setara, antara seorang patron (penguasa) dan klien (pengikut). Dalam sistem ini, antara kedua pihak memiliki suatu kepentingan yang bisa saling ditawarkan.

Dalam tawar-menawar politik tersebut terjadilah pertukaran, dengan menggunakan sumber daya yang ada, actor politik akan terlibat pada hubungan pertukaran berupa barang dan atau jasa yang diberikan dengan dukungan yang diberikan masyarakat kepada aktor tersebut sebagai imbalannya (Shefter, 1994). Dukungan yang diberikan masyarakat tersebut pastinya dalam bentuk suara yang nantinya menjadi ukuran elektabilitas politisi saat kontestasi pemilu berlangsung.

Salah satu bentuknya ialah 'Politik Gentong Babi' atau Pork Barrel Politics. Istilah ini mungkin kurang akrab di telinga, ketimbang istilah lain seperti Politik Uang, Politik Identitas dan lain sebagainya. Namun, 'Politik Gentong Babi' bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan sudah menjadi tradisi politik yang bisa dijumpai di berbagai Negara.

Politik 'Gentong Babi' artinya upaya mengambil keuntungan dari negara untuk menguntungkan urusan dirinya sendiri. Politik jenis ini didefinisikan sebagai kebijakan pemerintah terpilih untuk mengalokasikan anggaran bagi konstituen yang telah berjasa mengantarkan mereka pada tampuk kekuasaan. Pada awalnya tradisi politik ini dianggap wajar. Namun, usai perang sipil (1865), politik semacam ini dianggap tercela. (Hilmy, 2017)

Menurut Teddy Lesmana dalam bukunya yang berjudul Politik Pork Barrel dan Kemiskinan, praktik dari politik 'gentong babi' menjadikan konotasi yang negatif terkait dengan perilaku politisi yang memanfaatkan hubungan patron-klien dan menggunakan uang negara untuk kepentingan politik pribadi dan tidak semata-mata untuk kepentingan sebagian rakyat yang diwakilinya saja. Politik semacam ini pastinya sangat merugikan Negara.

Berawal di Negeri Paman Sam

Perilaku ini pertama kali diperkenalkan dalam tindakan Bill Bonus yang bermula di Amerika Serikat. Pada tahun 1817 Wakil Presiden Amerika Serikat pada waktu itu John C. Calhoun mengusulkan Bill Bonus yang isinya penggelontoran dana untuk pembangunan jalan raya yang menghubungkan Timur dan Selatan ke Barat Amerika Serikat. Dananya akan diambil dari laba bonus Second Bank of the United States (Bank Kedua Amerika Serikat). RUU tersebut pada akhirnya diveto oleh Presiden James Madison. (Historia, 2019)

Ada pula yang menyebutkan istilah 'Gentong Babi' sendiri merujuk pada peristiwa Perang Saudara di Amerika Serikat sekitar tahun 1861-1865. Pada masa itu para budak yang bekerja kerap di beri makan daging babi yang sudah diasinkan kepada para budak kulit hitam kemudian untuk diperebutkan.

Di negeri Amerika Serikat sendiri, praktik semacam ini menyebabkan penggunaan anggaran yang nilainya diluar batas wajar. Contohnya, beberapa usulan proyek yang menghabiskan anggaran milliaran dollar bahkan lebih, seperti: proyek pembangunan toilet di Gunung McKinley yang menghabiskan anggaran sekitar US$800.000, ada pula pembuatan perahu kuno purba sebesar US$ 2 juta, dan sebuah riset studi mengapa orang tak bersepeda ke kantor yang menghabiskan anggaran US$1 juta dollar Amerika.

Masih Eksis di Indonesia

Dalam berbagai hal, politik 'gentong babi' masih eksis di Indonesia. Tradisi politik semacam ini masih dianggap wajar di republik ini. Modusnya pun bisa dibilang bermacam-macam, salah satunya melalui proyek infrastruktur yang sedang giat-giatnya di lakukan pemerintah. 

Pembangunan infrastruktur sering kali menjadi 'imbalan politik' bagi konstituen yang dianggap telah berjasa mengantarkan kontestan (politisi) tertentu menuju kemenangan dalam kontestasi pemilu di Indonesia (Hilmy, 2017). Hal ini dilakukan untuk merawat dukungan dari konstituen dalam hubungan patron-klien mereka.

Adapun modus-modus perilaku politik 'gentong babi' ada tiga bentuk (Musa, 2014). Pertama, dalam bentuk fiktif atas usulan yang ada. Kedua, diterima tetapi tidak sesuai besaran yang ada karena dipotong aparat yang ada di depan. Ketiga, modusnya berhubungan dengan proses politik di suatu tempat.

Praktik dari modus politik 'gentong babi' biasanya mulai marak saat menjelang Pemilihan Umum maupun Pilkada.Apalagi menjelang Pilkada 2020 yang sedang diundur sebab adanya pandemi CoVID-19 saat ini. Momen tersebut dinilai menjadi momen yang tepat. 

Ditengah pandemi CoVID-19 dan pemberlakuan pembatasan sosial di berbagai wilayah, pastinya semua lini masyarakat terdampak dan membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat maupun daerah.

Temuan baru-baru ini oleh para pengamat korupsi, yakni Indonesia Corruption Watch atau ICW mendapat temuan terkait meningkatnya anggaran alokasi bantuan sosial yang cukup drastis. Alokasi bantuan sosial tersebut dianggarkan melalui kementrian-kementrian dan pemerintah daerah. di setiap jelang hajatan demokrasi. 

Beberapa daerah yang petahananya atau keluarganya hendak maju pada Pilkada 2020 nanti menjadi daerah paling rawan terjadinya politik 'gentong babi' dari kebijakan penanggulangan pandemi Covid-19 berupa pengalokasian bantuan sosial.

Di masa pandemi seperti ini, indikasi politik 'gentong babi' dapat dijumpai melalui pembagian bantuan sosial kepada masyarakat. salah satunya kasus yang sempat viral di jagat media sosial yang menimpa Bupati Klaten Sri Mulyani, setelah bantuan dari Kementrian Sosial berupa hand sanitizer yang ditempel stiker bergambar wajah Bupati Klaten Sri Mulyani di upload ke media sosial dan mendapat sorotan banyak netizen. Hal ini pun banyak mendapat komentar negative dari netizen.

Sebab ditengah kondisi seperti ini mereka yang masih memanfaatkan momen untuk mengisi 'celengan' (tabungan) berupa dukungan politik menjelang Pilkada 2020, dinilai kurang tepat dan tidak bermoral. 

Melalui praktik politik 'gentong babi' misalnya, hal ini bukan cuma merugikan Negara karena mengelontorkan anggaran besar, juga merugikan masyarakat sebab alih-alih bantuan tersebut sampai ke mereka yang membutuhkan malah jadi tidak tepat sasaran. Apalagi hal tersebut menguntungkan diri sendiri atas nama hajat orang banyak.

Sebagaimana kita ketahui bersama, berbagai bantuan sosial tersebut pastinya menggunakan anggaran dan dialokasikan oleh Negara atau daerah, sehingga berbagai bentuk klaim yang bersifat menguntungkan individu semestinya harus dihindarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun