Dr. Rahmawati, selaku Kepala Pusat Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen, menekankan pentingnya tata kelola penilaian yang komprehensif. Menurutnya, penilaian harus dimulai sejak proses belajar berlangsung hingga ke tahap teknis seperti Standar Kompetensi Lulusan (SKL), serta melibatkan mekanisme evaluasi internal maupun eksternal agar hasilnya objektif. Ia juga memperkenalkan konsep Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai instrumen baku untuk mengukur kapasitas akademik siswa. Dengan pendekatan ini, penilaian tidak lagi dipandang sebagai titik akhir, melainkan sebagai alat diagnostik untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar sekaligus merancang intervensi yang lebih tepat sasaran.
Abad 21 dan Dinamika Pendidikan
Dunia bergerak begitu cepat. Revolusi industri 4.0 hingga kecerdasan buatan telah mengubah wajah pekerjaan dan keterampilan yang dibutuhkan. Anak-anak tak bisa lagi sekadar mahir membaca, menulis, dan berhitung. Mereka dituntut memiliki keterampilan abad 21: berpikir kritis, kreatif, mampu berkolaborasi, melek digital, serta memiliki kecerdasan emosional.
Pernyataan ini menjadi benang merah sesi gelar wicara yang dipandu oleh Heru Margianto, COO Kompasiana. Diskusi ini menghadirkan beragam perspektif dari para narasumber:
- Fitriana M. Pd, Guru SDN Sukapura 01, yang berbagi pengalaman langsung tentang praktik pembelajaran di kelas.
- Dr. Rahmawati, Kepala Pusat Asesmen Pendidikan, yang menekankan pentingnya sistem penilaian pendidikan dan peran TKA (Tes Kemampuan Akademik).
- Dinnar Tasmulaylisyah, Fasilitator Sidina Community sekaligus perwakilan orang tua siswa, yang memberi sudut pandang dari sisi keluarga.
- Alexa, Duta SMA Nasional, yang menyuarakan pandangan dan aspirasi generasi muda.
Dari sesi tersebut, muncul sejumlah gagasan penting:
- Berpikir kritis sejak dini. Dr. Rahmawati menekankan bahwa hingga 20 tahun mendatang, kemampuan critical thinking akan menjadi modal utama generasi muda. Karenanya, penguatan keterampilan ini sejak jenjang PAUD hingga SD mutlak diperlukan.
- Empat kecakapan abad 21 (4C). Kerangka critical thinking, creativity, collaboration, communication dijadikan acuan global dalam merancang kurikulum. Empat kecakapan ini dipandang sebagai kunci agar generasi mendatang siap menghadapi tantangan dunia kerja dan kehidupan sosial.
- Platform kolaborasi guru. Kemendikdasmen kini menyiapkan wadah formal bagi tenaga pendidik untuk saling berbagi praktik baik. Transformasi platform digital seperti Ruang Guru menjadi ruang untuk bertukar ide, mengakses bahan ajar, dan mengikuti pelatihan diharapkan mempercepat penyebaran inovasi pembelajaran di seluruh sekolah.
Pendidikan berkualitas bukan sesuatu yang bisa dihadirkan satu pihak saja. Ia membutuhkan sinergi, yaitu antara orang tua, guru, dan pemerintah.
Tiga Pilar Pendidikan: Orang Tua, Guru, dan Pemerintah
1. Peran Orang Tua: Rumah Sebagai Sekolah Pertama
Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya. Sebelum mengenal bangku sekolah, anak belajar berbicara, bersikap, dan memahami dunia dari lingkungan keluarga. Namun, dalam praktiknya, keterlibatan orang tua sering kali hanya muncul ketika anak menghadapi masalah atau saat pembagian rapor.
Padahal, dalam pendidikan modern, peran orang tua jauh lebih luas. Mereka dituntut menjadi mitra guru: membimbing anak di rumah, mendampingi belajar, bahkan memberi teladan dalam hal karakter dan kedisiplinan.
Di tengah era digital, peran ini semakin penting. Orang tua perlu menjadi "penjaga gerbang" agar anak tidak terjebak pada konten negatif di internet. Sekaligus, mereka perlu memberi ruang bagi anak untuk mengeksplorasi minat dan kreativitasnya.
2. Peran Guru: Lebih dari Sekadar Pengajar
Guru selalu disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, di abad 21, tugas guru jauh lebih kompleks. Mereka bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, tetapi juga harus menjadi fasilitator, motivator, bahkan inovator.