Dengan rekam jejak seperti itu, jelas bahwa Luhut adalah figur yang menguasai berbagai poros kekuasaan: militer, diplomasi, ekonomi, dan intelijen. Dan kedekatannya dengan Presiden Jokowi membawanya ke posisi superstrategis, menjadi jantung pengambilan keputusan dalam berbagai sektor, baik formal maupun informal.
Peran Melampaui Fungsi
Secara kasat mata, ia terlihat seperti seorang koordinator sektor kemaritiman. Namun, Luhut mengemban dan memaksakan peran dalam banyak agenda nasional yang secara yuridis bukan dalam ranah tugasnya langsung:
-
Pandemi COVID-19
- Ditunjuk sebagai Koordinator PPKM Jawa–Bali, peran ini seharusnya berada di bawah Menteri Kesehatan atau BNPB. Tapi nyatanya, semua kebijakan darurat justru dikendalikan oleh Luhut, termasuk manajemen vaksin, logistik, dan komunikasi publik.
Tambang dan Hilirisasi Nikel
- Ia menjadi arsitek utama kebijakan hilirisasi nikel dan pemegang kendali dalam kerja sama dengan investor besar, seperti Tsingshan dan CATL dari Tiongkok. Padahal, ini semestinya domain Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian.
Kereta Cepat Jakarta–Bandung
- Proyek ini berada di bawah Kementerian Perhubungan dan Kementerian BUMN. Namun ketika bermasalah, Luhut turun tangan sebagai “penengah,” bahkan disebut sebagai pengendali lobi hingga pembiayaan Tiongkok.
Ekspor–Impor Sawit (CPO)
- Ia memimpin kebijakan terkait ekspor sawit dan negosiasi dengan India dan China, fungsi yang seharusnya dilakukan oleh Menteri Perdagangan atau Menteri Pertanian.
Perubahan Iklim dan Transisi Energi
- Dalam isu global seperti transisi energi, Luhut tampil sebagai representasi resmi Indonesia dalam forum-forum internasional seperti G20, COP, dan World Economic Forum. Keberadaannya mengaburkan fungsi Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Luar Negeri, bahkan Presiden sendiri sebagai kepala negara.
Hubungan Diplomatik dengan Tiongkok
- Tak sedikit yang menyebut Luhut sebagai “duta besar informal” untuk Tiongkok. Negosiasi investasi, pinjaman, dan bahkan manajemen utang BUMN sebagian besar dipercayakan kepadanya.
Efisiensi atau Otoritarianisme Gaya Baru?
Kita patut bertanya: Apakah ini bagian dari manajemen efisien atau praktik kekuasaan yang melampaui batas konstitusional?