PAPUA DAN PENUNDAAN KEMERDEKAAN : WARISAN KONFERENSI MEJA BUNDAR 1949
(Tulisan ini merupakan Seri 1 dari 5 Seri Tulisan Saya tentang : Papua, Sebagai Suatu Bangsa dan Mimpi-Mimpinya)
Oleh : Rudi Sinaba, SH., MH.
I. Pendahuluan
Konflik Papua merupakan salah satu luka sejarah yang terus menganga dalam perjalanan Republik Indonesia. Sejak wilayah ini secara resmi diintegrasikan ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1963 melalui mekanisme yang disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), Papua tidak pernah benar-benar hening dari letupan-letupan ketegangan politik, pertentangan kultural, dan friksi kekuasaan. Di satu sisi, pemerintah Indonesia mengklaim Papua sebagai bagian sah dari wilayah kedaulatannya berdasarkan warisan Hindia Belanda dan hasil perundingan internasional. Di sisi lain, sebagian masyarakat Papua menolak integrasi tersebut, dan menganggap bahwa proses penyatuan itu sarat dengan rekayasa politik dan pengingkaran atas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Ketidakpuasan terhadap status politik Papua memunculkan gerakan separatisme yang berkembang hingga hari ini. Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan berbagai faksi pro-kemerdekaan terus menuntut lepasnya Papua dari Indonesia, dengan dukungan dari diaspora Papua dan sebagian masyarakat internasional. Konflik ini tak hanya berlangsung dalam bentuk kekerasan bersenjata, tetapi juga dalam ranah diplomasi internasional, kebijakan pembangunan, dan diskursus identitas. Situasi ini diperparah oleh laporan-laporan pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan pembangunan, dan eksklusi sosial yang dialami oleh orang asli Papua.
Namun demikian, konflik ini bukanlah fenomena yang muncul secara tiba-tiba. Ia merupakan warisan sejarah yang panjang, berakar dari era kolonialisme, transisi kekuasaan pasca-Perang Dunia II, dan manuver-manuver diplomatik negara-negara besar pada masa Perang Dingin. Dalam konteks ini, penyelesaian masalah Papua tidak dapat dilepaskan dari pemahaman atas akar sejarahnya, dan salah satu titik penting dalam sejarah tersebut adalah Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Diskusi publik maupun akademik mengenai Papua sering kali berfokus pada peristiwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang dianggap cacat prosedur dan menjadi titik awal konflik antara Jakarta dan rakyat Papua. Akan tetapi, pertanyaan mendasar yang lebih kritis perlu diajukan: Apakah konflik Papua benar-benar bermula dari Pepera, ataukah masalah tersebut telah tertanam sejak jauh sebelumnya, terutama dalam peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 yang menjadi tonggak pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda?
Pertanyaan ini penting, karena KMB bukan hanya menyelesaikan konflik bersenjata antara Indonesia dan Belanda, tetapi juga mewariskan masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk soal status Irian Barat (sebutan Papua pada masa itu). Pengabaian terhadap suara rakyat Papua dalam forum-forum internasional seperti KMB, serta kompromi politik antara elite kolonial dan nasionalis pada masa itu, menjadi penanda bahwa persoalan Papua sejak awal merupakan hasil dari proses politik yang elitis dan eksklusif.
Dengan menggali lebih dalam konteks politik dan diplomasi yang mengelilingi KMB dan perkembangan sesudahnya hingga awal 1960-an, kita dapat memahami bahwa konflik Papua tidak bisa dipandang sebagai kegagalan satu momen (seperti Pepera), tetapi sebagai konsekuensi dari serangkaian keputusan politik yang menunda pemenuhan hak dasar rakyat Papua.
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar persoalan Papua dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 hingga awal dekade 1960-an, dengan pendekatan historis dan kritis. Dengan melihat bagaimana isu Papua diposisikan dalam perundingan-perundingan internasional, bagaimana peran Belanda dan Indonesia dalam merumuskan nasib wilayah ini, serta bagaimana negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa ikut membentuk arah sejarah Papua, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih utuh dan mendalam.
Lebih jauh, tulisan ini ingin menunjukkan bahwa penundaan penyelesaian status Papua dalam KMB adalah titik awal dari krisis representasi dan legitimasi yang berlangsung hingga kini. Dengan demikian, narasi yang menyederhanakan konflik Papua sebagai sekadar "gerakan separatis" atau "masalah keamanan" harus direvisi melalui kajian sejarah yang lebih objektif dan adil.