UU Pesantren mungkin lahir dari niat baik. Tapi apakah negara benar-benar hadir di pesantren-pesantren untuk mendampingi, bukan hanya mengatur?
Dari hasil wawancara, tidak ada pendampingan langsung dari pemerintah ke Darul Ukhwah untuk membantu memahami regulasi atau mengurus muadalah. Pengasuh pesantren merasa dibiarkan sendiri membaca teks undang-undang yang teknis dan sulit dimengerti.
Ini menunjukkan adanya jarak epistemologis dan kultural antara negara dan komunitas pesantren. Negara bergerak dengan logika birokrasi dan target kelembagaan, sedangkan pesantren hidup dengan logika spiritual dan budaya. Jika tidak ada jembatan penghubung, maka pengakuan hanya akan menjadi simbol bukan manfaat nyata.
Hal ini semakin memperjelas perlunya ruang perjumpaan antara tradisi dan sistem. Jangan sampai legalitas mematikan vitalitas.
Harapan: Dari Regulasi Menuju Relasi
UU Pesantren adalah peluang besar, tapi peluang hanya bisa berubah menjadi manfaat jika ada pendampingan nyata dari negara. Pelatihan administratif, sosialisasi intensif, dan pemberdayaan SDM pesantren perlu dikedepankan dalam pelaksanaan regulasi ini.
Di sisi lain, pesantren juga perlu mulai membuka diri, belajar memaknai legalitas bukan sebagai bentuk penyeragaman, tapi sebagai strategi keberlanjutan. Pesantren tetap bisa menjaga tradisi, sembari mengakses hak-hak kelembagaan yang ditawarkan negara.
Relasi negara dan pesantren seharusnya bukan relasi kuasa, melainkan kemitraan kultural. Negara tidak boleh menempatkan pesantren hanya sebagai objek kebijakan, tapi harus menghargainya sebagai subjek dengan kekhasan nilai dan peran strategis dalam membentuk karakter bangsa.
Penutup
UU Pesantren sudah disahkan. Tapi hingga hari ini, implementasinya belum sepenuhnya terasa di banyak pesantren. Pesantren-pesantren kecil masih berjuang memahami bahasa negara, sementara negara belum benar-benar belajar memahami bahasa pesantren.
Jika kita ingin pendidikan nasional yang adil, inklusif, dan berbasis kearifan lokal, maka relasi negara dan pesantren harus dimulai dari dialog yang setara dan terbuka. Bukan hanya tentang aturan, tapi tentang saling mengerti. Karena di balik teks hukum dan pasal-pasal, yang terpenting adalah memanusiakan pendidikan berbasis nilai dan tradisi.