"Kita ini pesantren swadaya. Fokus kami lebih ke pembinaan dan pengajian," ujarnya.
Pernyataan ini menunjukkan adanya prioritas berbeda yang dipegang pesantren: mereka lebih memilih memperkuat pendidikan moral dan agama ketimbang mengurus dokumen yang dianggap rumit. Bagi pengurus, administrasi formal bukanlah hal utama, sementara pembinaan santri adalah inti dari keberadaan pesantren itu sendiri.
Sementara para santri yang sebagian juga berkuliah di luar pesantren mengaku belum pernah mendengar soal Dana Abadi Pesantren, atau apa arti ijazah yang setara secara hukum. Mereka lebih akrab dengan jadwal setoran hafalan, pengajian tafsir, dan kebersihan lingkungan.
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi negara belum berhasil menembus kehidupan sehari-hari warga pesantren. Pengetahuan tentang kebijakan hanya berhenti di level pengurus, itupun terbatas. Padahal, jika implementasi berjalan baik, santri sebagai penerima manfaat utama seharusnya menjadi pihak yang paling merasakan dampaknya.
Ini bukan semata persoalan Darul Ukhwah, tapi fenomena umum di banyak pesantren menengah dan kecil di Indonesia. Antusiasme atas pengakuan negara ada, tetapi akses terhadap pemahaman hukum dan sumber daya pendukung sangat terbatas. Pesantren sering kali berjalan dengan niat dan kemandirian, tetapi tidak mendapat pendampingan teknis dari pemerintah. Tanpa pendampingan, peluang yang dibuka oleh UU ini hanya akan menjadi harapan kosong.
Negara Punya Logika Birokrasi, Pesantren Punya Tradisi
Sebagai mahasiswa sosiologi, saya melihat masalah ini tidak sekadar persoalan administratif, tetapi persoalan cara pandang. Negara beroperasi dengan logika birokrasi, yang menuntut semua lembaga pendidikan memenuhi standar formal seperti kurikulum, akreditasi, dan pelaporan.
Sementara itu, pesantren seperti Darul Ukhwah hidup dengan logika tradisi dan spiritualitas, di mana nilai adab, keteladanan kiai, dan suasana religius menjadi inti pendidikan. Dalam kerangka teori konstruksi sosial Berger dan Luckmann, realitas di pesantren dibentuk oleh interaksi sosial dan makna kolektif yang berbeda dengan logika negara. Tidak heran jika banyak pesantren merasa kebijakan formal sulit diterapkan karena tidak sesuai dengan konteks sosial mereka. Salah satu santri di Darul Ukhwah mengatakan,Â
"Di sini kita belajar bukan hanya kitab, tapi juga karakter dan tanggung jawab. Ijazah bisa dicari nanti, tapi akhlak itu yang utama."
 Pernyataan ini mempertegas bahwa pesantren memandang pendidikan bukan sekadar legalitas, tetapi proses membentuk manusia yang beradab.
Apakah Negara Terlalu Jauh dari Akar Pesantren?