Kebijakan pemerintah untuk menyita tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun memantik pro dan kontra di tengah masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2021, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengidentifikasi 184 bidang tanah terlantar yang akan dialihkan menjadi aset produktif. Lebih jauh, Ketua BPN memperkirakan potensi tanah menganggur di Indonesia mencapai 1,4 juta hektare.
Secara ideal, langkah ini dapat mengoptimalkan lahan tidur, meningkatkan produktivitas, dan memenuhi kebutuhan sektor strategis seperti pertanian, perumahan, hingga infrastruktur. Namun, efektivitas kebijakan ini akan sangat ditentukan oleh sejauh mana pemerintah menyiapkan perencanaan yang matang. Tanpa hal tersebut, kebijakan ini berisiko hanya menjadi upaya administratif yang memindahkan masalah pengelolaan dari masyarakat ke tangan negara, tanpa memberikan nilai tambah ekonomi yang signifikan.
Efektivitas dan Tantangan Implementasi
Penyitaan tanah menganggur bukan sekadar proses hukum, tetapi juga tantangan manajerial. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap lahan yang disita memiliki rencana pemanfaatan yang jelas, terukur, dan realistis. Tanah di lokasi yang strategis---dekat akses jalan, pusat ekonomi, dan infrastruktur---tentu lebih mudah dialihfungsikan. Sebaliknya, tanah di daerah terpencil atau tidak sesuai peruntukan tata ruang akan sulit dimanfaatkan meski statusnya sudah berpindah ke negara.
Pengalaman di berbagai daerah menunjukkan bahwa banyak aset tanah negara yang sudah ada sebelumnya justru tidak terkelola dengan baik. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah penambahan 1,4 juta hektare tanah negara nantinya dapat benar-benar dikelola optimal, atau justru menambah beban baru? Tanpa perencanaan, penyitaan bisa berubah menjadi kebijakan sporadis---sekadar melaksanakan amanat undang-undang tanpa memikirkan langkah lanjutan.
Risiko Salah Sasaran dan Ketimpangan
Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi salah sasaran atau policy mistargeting. Tanah yang disita mungkin saja milik masyarakat kecil yang belum mampu mengolahnya karena keterbatasan modal, teknologi, atau tenaga kerja. Jika lahan tersebut diambil tanpa ada upaya pemberdayaan atau kompensasi yang memadai, maka kebijakan ini berisiko memperparah ketimpangan sosial.
Lebih berbahaya lagi, apabila setelah disita, tanah tersebut diberikan kepada pihak dengan modal besar tanpa melibatkan masyarakat sekitar. Hal ini akan memunculkan kesenjangan baru---warga lokal menjadi penonton di tanah mereka sendiri, sementara keuntungan ekonomi dinikmati pihak luar. Pemerintah perlu menyadari bahwa pemberdayaan masyarakat lokal bukan sekadar nilai tambah, tetapi syarat utama agar kebijakan ini tidak menimbulkan resistensi dan konflik sosial.
Penting untuk digarisbawahi, pemerintah tidak boleh menyita tanah yang berstatus hak milik. Langkah tersebut bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga merupakan bentuk perampasan negara terhadap hak-hak sipil rakyat. Hak milik atas tanah dijamin oleh konstitusi dan undang-undang, sehingga tidak ada dalih apapun yang dapat membenarkan penyitaan oleh pemerintah tanpa persetujuan pemilik.
Jika pemerintah memaksakan penyitaan terhadap tanah hak milik, itu berarti mengabaikan prinsip perlindungan hak individu atas aset yang sah. Satu-satunya pengecualian adalah apabila pemilik secara sukarela melepaskan haknya untuk kepentingan umum dengan kompensasi yang layak. Selain itu, segala bentuk pengambilalihan harus melalui prosedur yang transparan, adil, dan menghormati hak-hak warga negara.