Monopoli BBM Satu Pintu: Jalan Pintas Menuju Korupsi, Rente, dan Krisis Energi?
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini meluncurkan kebijakan impor bahan bakar minyak (BBM) satu pintu melalui PT Pertamina (Persero). Dengan mekanisme ini, seluruh operator stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) swasta---Shell, BP-AKR, hingga VIVO---dipaksa membeli BBM dari Pertamina, bukan lagi melakukan impor langsung seperti sebelumnya.
Sekilas, kebijakan ini terlihat patriotik: negara kembali menguasai sektor strategis, sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Namun jika ditelisik lebih dalam, kebijakan ini bukan hanya blunder, tetapi juga bom waktu yang bisa memukul balik perekonomian Indonesia. Monopoli dalam sektor energi, yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak, bukan hanya menyuburkan perburuan rente, tetapi juga memperlebar ruang korupsi di tubuh Pertamina---BUMN yang sudah berkali-kali tercoreng oleh kasus inefisiensi, minyak oplosan, hingga permainan kuota impor.
Monopoli yang Membunuh Persaingan
Ekonom energi UGM, Fahmy Radhi, mengingatkan bahwa sejak liberalisasi hilir migas di era Reformasi, perusahaan asing masuk ke Indonesia dengan semangat kompetisi. Mereka bisa membangun SPBU, mengimpor BBM sendiri, dan menjual dengan harga sesuai mekanisme pasar. Dengan sistem ini, konsumen punya pilihan: apakah membeli BBM Pertamina atau BBM non-Pertamina.
Kini, dengan kebijakan satu pintu, pilihan itu hilang. Semua operator dipaksa antre di Pertamina. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) bahkan terang-terangan menyebut kebijakan ini berpotensi memonopoli pasar dan membunuh iklim kompetisi. Pangsa pasar Pertamina sudah 92%, sedangkan BU swasta hanya 1--3%. Bukankah ini kembali ke Orde Baru, ketika satu perusahaan menjadi penguasa tunggal energi nasional?
Lebih parah lagi, impor untuk provider BBM Swasta hanya ditambah 10% dari kuota tahun sebelumnya yang semakin mempersempit ruang gerak SPBU swasta untuk melayani konsumen yang beralih dari Pertamina karena alasan kualitas. Hasilnya? Konsumen kekurangan pilihan, harga bisa terkerek naik, dan pasokan BBM rawan terganggu.
Pertamina: Raksasa dengan Rekam Jejak Buram
Mari bicara jujur: apakah Pertamina cukup bersih untuk memegang kuasa tunggal ini? Fakta berbicara sebaliknya.
*Kasus BBM oplosan mencoreng nama Pertamina berkali-kali. Bahkan di sejumlah daerah, laporan minyak bercampur air atau kualitas rendah sudah menjadi cerita klasik.
*Inefisiensi kronis membuat harga BBM Pertamina sering tidak kompetitif dibanding SPBU swasta.
*Skandal korupsi juga menghantui, mulai dari kasus suap impor minyak mentah hingga permainan proyek kilang.
Dengan rekam jejak seperti itu, kebijakan satu pintu bukanlah penguatan peran negara, melainkan pemberian cek kosong kepada institusi yang sudah lama bermasalah. Dalam logika ekonomi politik, monopoli tanpa kontrol adalah ladang basah untuk perburuan rente. Pihak-pihak yang dekat dengan lingkaran kekuasaan bisa memanfaatkan jalur distribusi BBM untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Bahaya Perburuan Rente
Ekonom senior sudah berkali-kali memperingatkan bahwa monopoli dalam sektor vital selalu melahirkan rent-seeking. Dalam konteks BBM, rent-seeking bisa muncul dalam bentuk:
1.Fee tambahan untuk operator swasta agar bisa mendapat jatah pasokan.
2.Markup harga yang tidak transparan karena tidak ada pembanding dari impor langsung.
3.Penyelewengan kuota impor untuk kepentingan kelompok tertentu.
Hasil akhirnya jelas: biaya distribusi naik, harga BBM lebih mahal, tetapi keuntungan tidak jatuh ke rakyat melainkan ke kantong para pemburu rente.
Iklim Investasi Terancam
Indonesia sedang berusaha menarik investasi asing demi mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% ala Presiden Prabowo. Tapi bagaimana investor bisa percaya jika pemerintah sendiri mengirim sinyal bahwa aturan main bisa berubah sewaktu-waktu?
Shell, BP-AKR, hingga VIVO bisa saja hengkang jika margin mereka terus tergerus. Jika itu terjadi, bukan hanya sektor migas yang babak belur, tetapi persepsi global tentang Indonesia sebagai destinasi investasi juga ikut runtuh. Investor akan menilai: "Jika di sektor energi saja bisa dimonopoli, bagaimana dengan sektor lain?"
Konsumen yang Paling Dirugikan
Pada akhirnya, rakyat biasa yang akan membayar harga termahal. Dengan monopoli Pertamina:
*Harga BBM bisa lebih mahal karena hilangnya kompetisi.
*Kualitas pasokan rawan turun, sebab tidak ada tekanan dari pesaing.
*Kelangkaan bisa terjadi, seperti yang sudah dialami Shell dan BP-AKR belakangan ini.
Bukankah tujuan negara menguasai cabang produksi yang vital adalah untuk memastikan energi murah, merata, dan berkualitas? Jika hasilnya justru sebaliknya, lantas siapa yang diuntungkan?
Antara Alasan Ideologis dan Realitas Buruk
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa BBM adalah hajat hidup orang banyak sehingga wajar dikuasai negara. Pertamina disebutnya sebagai "representasi negara." Secara ideologis, argumen ini sah. Namun, ideologi tanpa governance hanya melahirkan monopoli predatoris.
Negara seharusnya tidak lagi terjebak pada dikotomi pasar versus monopoli. Jalan tengahnya adalah persaingan sehat dengan regulasi ketat. Pertamina boleh kuat, tetapi harus bersaing sehat dengan BU swasta agar kualitas, harga, dan distribusi tetap terjaga.
Belajar dari Sejarah
Krisis 1997--1998 memberi pelajaran pahit: monopoli dan kroniisme dalam sektor strategis justru memperparah kerentanan ekonomi. IMF memang salah dalam resepnya, tetapi dominasi kelompok tertentu dalam ekonomi Orde Baru adalah biang kerok keruntuhan.
Kini, dengan memberi monopoli penuh ke Pertamina, apakah pemerintah sedang mengulang kesalahan sejarah? Bedanya, kali ini dilakukan atas nama "nasionalisme energi."
Rekomendasi Jalan Tengah
Jika pemerintah ingin menekan defisit migas dan memperkuat kedaulatan energi, solusinya bukan monopoli, melainkan:
1.Reformasi tata kelola Pertamina, agar transparan, akuntabel, dan efisien.
2.Mekanisme persaingan sehat, di mana Pertamina boleh dominan tetapi tidak boleh mematikan BU swasta.
3.Audit independen atas impor dan distribusi BBM, untuk mencegah rente dan korupsi.
4.Diversifikasi energi, agar ketergantungan pada impor BBM tidak lagi menjadi jebakan.
Kesimpulan
Kebijakan impor BBM satu pintu melalui Pertamina adalah contoh nyata politik jalan pintas: mudah dijual ke publik sebagai "nasionalisme energi," tetapi sesungguhnya menyimpan bom waktu. Monopoli ini hanya akan menyuburkan perburuan rente, membuka ruang korupsi lebih besar di Pertamina, mengusir investor, dan pada akhirnya menyengsarakan konsumen.
Sejarah mengajarkan kita: setiap kali negara memberi kekuasaan absolut pada satu lembaga tanpa kontrol, hasilnya selalu sama---korupsi, inefisiensi, dan krisis.
Jika pemerintah tidak segera mengoreksi arah kebijakan ini, maka target pertumbuhan ekonomi 8% hanyalah mimpi di atas kertas, sementara rakyat terjebak dalam antrean panjang di SPBU.
Referensi:
*Fahmy Radhi, UGM -- pernyataan soal margin SPBU asing (Kompas, 16/9/2025).
*KPPU, "Analisis Kebijakan Impor BBM Satu Pintu" (Bloomberg Technoz, 18/9/2025).
*Bahlil Lahadalia, "Pertamina representasi negara" (Antara, 17/9/2025).
*Laporan kasus BBM oplosan & inefisiensi Pertamina (Tempo, 2020; CNBC Indonesia, 2022).
*Studi rent-seeking sektor energi: Krueger, A. O. (1974). "The Political Economy of the Rent-Seeking Society."
Disclaimer
Tulisan ini merupakan opini berbasis analisis kebijakan publik dan ekonomi politik. Penulis tidak memiliki afiliasi dengan Pertamina, Kementerian ESDM, maupun operator SPBU swasta. Semua data diambil dari sumber resmi dan kredibel, serta digunakan untuk tujuan pendidikan dan diskursus publik.
Tagar:
#MonopoliBBM #Pertamina #KorupsiEnergi #PerburuanRente #NasionalismeEnergi #ESDM #KPPU #Prabowo8Persen #EkonomiIndonesia #Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI