Ekonom senior sudah berkali-kali memperingatkan bahwa monopoli dalam sektor vital selalu melahirkan rent-seeking. Dalam konteks BBM, rent-seeking bisa muncul dalam bentuk:
1.Fee tambahan untuk operator swasta agar bisa mendapat jatah pasokan.
2.Markup harga yang tidak transparan karena tidak ada pembanding dari impor langsung.
3.Penyelewengan kuota impor untuk kepentingan kelompok tertentu.
Hasil akhirnya jelas: biaya distribusi naik, harga BBM lebih mahal, tetapi keuntungan tidak jatuh ke rakyat melainkan ke kantong para pemburu rente.
Iklim Investasi Terancam
Indonesia sedang berusaha menarik investasi asing demi mengejar target pertumbuhan ekonomi 8% ala Presiden Prabowo. Tapi bagaimana investor bisa percaya jika pemerintah sendiri mengirim sinyal bahwa aturan main bisa berubah sewaktu-waktu?
Shell, BP-AKR, hingga VIVO bisa saja hengkang jika margin mereka terus tergerus. Jika itu terjadi, bukan hanya sektor migas yang babak belur, tetapi persepsi global tentang Indonesia sebagai destinasi investasi juga ikut runtuh. Investor akan menilai: "Jika di sektor energi saja bisa dimonopoli, bagaimana dengan sektor lain?"
Konsumen yang Paling Dirugikan
Pada akhirnya, rakyat biasa yang akan membayar harga termahal. Dengan monopoli Pertamina:
*Harga BBM bisa lebih mahal karena hilangnya kompetisi.
*Kualitas pasokan rawan turun, sebab tidak ada tekanan dari pesaing.
*Kelangkaan bisa terjadi, seperti yang sudah dialami Shell dan BP-AKR belakangan ini.
Bukankah tujuan negara menguasai cabang produksi yang vital adalah untuk memastikan energi murah, merata, dan berkualitas? Jika hasilnya justru sebaliknya, lantas siapa yang diuntungkan?
Antara Alasan Ideologis dan Realitas Buruk
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berdalih bahwa BBM adalah hajat hidup orang banyak sehingga wajar dikuasai negara. Pertamina disebutnya sebagai "representasi negara." Secara ideologis, argumen ini sah. Namun, ideologi tanpa governance hanya melahirkan monopoli predatoris.
Negara seharusnya tidak lagi terjebak pada dikotomi pasar versus monopoli. Jalan tengahnya adalah persaingan sehat dengan regulasi ketat. Pertamina boleh kuat, tetapi harus bersaing sehat dengan BU swasta agar kualitas, harga, dan distribusi tetap terjaga.