Aku memutuskan merambah wilayah Musuk sebagai gerbang menuju obyek wisata yang terpatri dibenak. Selama hidup, baru kali ini aku menjamahnya. Padahal jarak dengan tempat tinggalku dekat. Istilah padanannya, semut diseberang lautan terlihat, gajah dipelupuk mata tak tampak. Jauh-jauh mendatangi berbagai tempat sedang yang terdekat terlupakan.
Feeling menjadi andalanku karena cukup terasah tahunan dalam membongkar suatu jalur. Barangkali keputusanku ini bisa dikatakan tepat. Karena nantinya aku menemukan petilasan Sri Susuhunan Pakubuwono X. Musuk merupakan wilayah dengan lanskap pegunungan. Benar, lereng gunung Merapi berurat sampai di sini.


Seperti yang aku katakan diatas, petilasan berupa cap tapak kaki milik Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng (SISK) Susuhunan Pakubuwono X bernama asli Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno menjadi tetenger kalau raja keraton Surakarta pernah singgah ditempat itu.
Tidak begitu jauh, sebuah tempat lagi dengan nama Susuh Angin menyuruhku agar ditengok.
Inilah yang sering orang sebut Ketidaksangkaan. Niat awal hanya ingin mengetahui sosok candi Lawang, tapi malah mendapat petilasan.
Saya jadi benar-benar ngeh (paham) kalau Musuk itu bersisian dengan Cepogo disisi utara. Keduanya adalah nama kecamatan yang tercangkup dalam wilayah kabupaten Boyolali.

Jalurnya dibeberapa titik tidak begitu lebar dengan beberapa ruas kadang berantakan. Mobil bahkan truk lalu lalang mengiringi perjalananku. Debu mengadakan pesta bila ban menggilas tanah kering.
Sepi bukan hal aneh bagiku. Ditempat itu ia memegang peranan. Petilasan sang raja berada dijalur menuju sebuah dukuh. Pas dipinggir jalan.
Saya mendapati sisa-sisa dupa yang tertancap dengan beberapa serpihan kelopak bunga mawar kering didepan cap tapak kaki. Apakah butuh persembahan?
Saya keliru, ternyata situs Tapak Noto tidak masuk wilayah Musuk. Dia bagian dari dukuh Sendangrejo desa Sumbung kecamatan Cepogo.
Di sini saya hanya mendapati beberapa item sejarah dengan lingkungan ladang perkebunan. Rimbunan pohon cengkeh menyembul. Mata akan diperlihatkan hamparan cengkeh sedang dijemur dipinggir jalan. Baunya silih berganti dengan rajangan tembakau.
Susuh Angin tidak jadi saya datangi. Hanya plakatnya saja berdiri. Petunjuk arah kurang jelas (kiri kanan-barat selatan, mana bro?). Mau tanya tak ada orang yang lewat. Sebenarnya kalau niat dan nekat, bisa saja saya blusuki. Tapi meninggalkan motor sendirian tanpa penjagaan. Oh, tidak. Riskan. Lain waktu deh kesini lagi.
Pentingnya plakat atau papan petunjuk sungguh penting bagi para wisatawan. Jadi bagi pengelola obyek, buatlah papan petunjuk dengan jelas arahnya agar mempermudah pengunjung. Karena tak semua orang mau bersusah payah berjibaku.
Susuh Angin adalah tebing curam dengan beberapa lubang yang menimbulkan bunyi. Itu didapat jika udara melewati. Tempat tersebut diketemukan oleh putra Susuhunan Pakubuwono X ketika membedah wilayah tersebut. Dianjurkan untuk datang pada pagi atau sore.

Usai berkunjung pada sang raja, kembali pergerakan dinyalakan. Naik turun berbelok melintir bagian yang asik. Di depan, Merapi nampak nyata jika arah pandangan kau tembakkan disebelah kiri. Bila Merbabu cemburu, pandang jugalah dirinya. Berlakulah adil.
Aku melambatkan motor. Sebuah situs candi memaksaku menolehkan kepala. Lagi-lagi dapat keberuntungan. Tunggangan aku parkirkan dibangunan yang memang sebenarnya telah dipersiapkan. Menaiki tanah tinggi dengan sambungan trap semen menuntun pada candi Sari.Â
Situs ini tidak utuh seperti Prambanan, Mendut atau lainnya. Hanya pondasi dengan sebuah lingga ditengah dan diempat sudut. Pagar kawat berduri membentengi melingkar tanpa bayaran untuk melindungi situs.


Saya dapat membayangkan, jika sore atau pagi, tempat ini pasti nyaman untuk merefleksi pikiran. Merapi dan Merbabu bersemayam berbungkus awan. Urat-urat kedua gunung itu nampak jelas.
Kenapa sebuah obyek wisata sepi pengunjung? Banyak faktor, diantaranya, jangkauannya sulit karena akses jalan, petunjuk kurang memadai, atau obyek itu tidak menarik (uninstagramable) bagi sebagian orang. Misal, candi yang tak berbentuk atau tidak utuh menjulang. Buat aku pribadi, mengunjungi suatu tempat bukan berhitung dengan keelokan saja, tapi faktor sejarah juga menjadi bagian penting.


Mengelilingi area candi, aku tidak mendapatkan petunjuk apapun mengenai hal ihwal candi Sari. Mungkin Balai Penelitian dan Cagar Budaya (BPCB) Jateng sedang berupaya menguaknya.
Usai dari Candi Sari, aku beranjak menuju candi Lawang. Tujuan utamaku adalah ini. Aku menerobos jalan beberapa dukuh.



Ini berlaku juga bagi aku. Sampai disana aku harus menunda untuk dapat masuk.
"Kan bisa meloncat, atau buka pintu pagar? Bukankah tidak digembok?"
Itu tindakan buruk. Sebagai pengunjung, aku harus menjaga marwah. Sebenarnya bisa masuk dengan cara begitu. Tapi jangan!

Candi ini merupakan candi Hindu, dapat diketahui dari ditemukannya yoni. Waktu pembangunannya belum dapat diungkap secara pasti. Berdasarkan langgam bangunan berbentuk genta dan setengah lingkaran dapat kita ketahui periodesasinya saja, yaitu, antara tahun 750 masehi hingga 800 masehi.
Beberapa gambar aku ambil. Mengamati sebentar diluar pagar, akhirnya kuputuskan beranjak pulang.[selesai]
*catatan kaki:
Jika kalian penasaran dan mau mengunjunginya, rute yang lebih mudah adalah lewat Paras, sebuah desa diwilayah Boyolali.
Bagi yang kurang akrab dengan Google Map saya kasih panduan. Dari kota Boyolali arahkan motormu ke jalur menuju Cepogo-Selo (para pendaki sudah pada tahu). Ada gerbang melengkung bertuliskan: Solo-Selo-Borobudur diperempatan jalan. Ikuti saja. Nanti kalian temukan pertigaan dengan papan petunjuk Pesanggrahan Pracimoharjo (sebuah bangunan sejarah.Â

Jalur itulah yang akan menuntun kalian dengan benar. Dah gitu, aku yakin kalian tak akan tersesat. Kalau tersesat, alhamdulillah...he...he...malah dapat pengalaman. Selamat berpetualang. Eh iya, tambah pesan,"Jangan lupa bawa bekal sejak dari rumah. Itu lebih baik" Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI