Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menelusuri Lingkar Wisata Cepogo Boyolali

6 September 2018   15:00 Diperbarui: 6 September 2018   16:47 1894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku memutuskan merambah wilayah Musuk sebagai gerbang menuju obyek wisata yang terpatri dibenak. Selama hidup, baru kali ini aku menjamahnya. Padahal jarak dengan tempat tinggalku dekat. Istilah padanannya, semut diseberang lautan terlihat, gajah dipelupuk mata tak tampak. Jauh-jauh mendatangi berbagai tempat sedang yang terdekat terlupakan.

Feeling menjadi andalanku karena cukup terasah tahunan dalam membongkar suatu jalur. Barangkali keputusanku ini bisa dikatakan tepat. Karena nantinya aku menemukan petilasan Sri Susuhunan Pakubuwono X. Musuk merupakan wilayah dengan lanskap pegunungan. Benar, lereng gunung Merapi berurat sampai di sini.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Lahan perkebunan sayur serta tembakau memagari pandanganku kala mengumbar keasikan mecumbui kelokan jalan. Setelah memanjang dan melahap belokan, plakat hijau berhuruf putih jadi garis finish. 

Seperti yang aku katakan diatas, petilasan berupa cap tapak kaki milik Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng (SISK) Susuhunan Pakubuwono X bernama asli Raden Mas Sayiddin Malikul Kusno menjadi tetenger kalau raja keraton Surakarta pernah singgah ditempat itu.

Tidak begitu jauh, sebuah tempat lagi dengan nama Susuh Angin menyuruhku agar ditengok.

Inilah yang sering orang sebut Ketidaksangkaan. Niat awal hanya ingin mengetahui sosok candi Lawang, tapi malah mendapat petilasan.

Saya jadi benar-benar ngeh (paham) kalau Musuk itu bersisian dengan Cepogo disisi utara. Keduanya adalah nama kecamatan yang tercangkup dalam wilayah kabupaten Boyolali.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Menelusuri daerah ini akan disuguhi hawa gunung walau kemarau tahun ini berhasil menghisap aroma basah.

Jalurnya dibeberapa titik tidak begitu lebar dengan beberapa ruas kadang berantakan. Mobil bahkan truk lalu lalang mengiringi perjalananku. Debu mengadakan pesta bila ban menggilas tanah kering.

Sepi bukan hal aneh bagiku. Ditempat itu ia memegang peranan. Petilasan sang raja berada dijalur menuju sebuah dukuh. Pas dipinggir jalan.

Saya mendapati sisa-sisa dupa yang tertancap dengan beberapa serpihan kelopak bunga mawar kering didepan cap tapak kaki. Apakah butuh persembahan?

Saya keliru, ternyata situs Tapak Noto tidak masuk wilayah Musuk. Dia bagian dari dukuh Sendangrejo desa Sumbung kecamatan Cepogo.

Di sini saya hanya mendapati beberapa item sejarah dengan lingkungan ladang perkebunan. Rimbunan pohon cengkeh menyembul. Mata akan diperlihatkan hamparan cengkeh sedang dijemur dipinggir jalan. Baunya silih berganti dengan rajangan tembakau.

Susuh Angin tidak jadi saya datangi. Hanya plakatnya saja berdiri. Petunjuk arah kurang jelas (kiri kanan-barat selatan, mana bro?). Mau tanya tak ada orang yang lewat. Sebenarnya kalau niat dan nekat, bisa saja saya blusuki. Tapi meninggalkan motor sendirian tanpa penjagaan. Oh, tidak. Riskan. Lain waktu deh kesini lagi.

Pentingnya plakat atau papan petunjuk sungguh penting bagi para wisatawan. Jadi bagi pengelola obyek, buatlah papan petunjuk dengan jelas arahnya agar mempermudah pengunjung. Karena tak semua orang mau bersusah payah berjibaku.

Susuh Angin adalah tebing curam dengan beberapa lubang yang menimbulkan bunyi. Itu didapat jika udara melewati. Tempat tersebut diketemukan oleh putra Susuhunan Pakubuwono X ketika membedah wilayah tersebut. Dianjurkan untuk datang pada pagi atau sore.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Menjelajahi tempat wisata bagi saya vitamin pendongkrak pikiran. Berani tersesat atau menyesatkan diri malah baik, karena saya dapat mengetahui kondisi suatu daerah. 

Usai berkunjung pada sang raja, kembali pergerakan dinyalakan. Naik turun berbelok melintir bagian yang asik. Di depan, Merapi nampak nyata jika arah pandangan kau tembakkan disebelah kiri. Bila Merbabu cemburu, pandang jugalah dirinya. Berlakulah adil.

Aku melambatkan motor. Sebuah situs candi memaksaku menolehkan kepala. Lagi-lagi dapat keberuntungan. Tunggangan aku parkirkan dibangunan yang memang sebenarnya telah dipersiapkan. Menaiki tanah tinggi dengan sambungan trap semen menuntun pada candi Sari. 

Situs ini tidak utuh seperti Prambanan, Mendut atau lainnya. Hanya pondasi dengan sebuah lingga ditengah dan diempat sudut. Pagar kawat berduri membentengi melingkar tanpa bayaran untuk melindungi situs.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Saya menemukan tempat duduk dari batang kayu di beberapa titik area. Pepohonan menjadi payung agar pengunjung tidak begitu tersengat jika matahari tertawa. 

Saya dapat membayangkan, jika sore atau pagi, tempat ini pasti nyaman untuk merefleksi pikiran. Merapi dan Merbabu bersemayam berbungkus awan. Urat-urat kedua gunung itu nampak jelas.

Kenapa sebuah obyek wisata sepi pengunjung? Banyak faktor, diantaranya, jangkauannya sulit karena akses jalan, petunjuk kurang memadai, atau obyek itu tidak menarik (uninstagramable) bagi sebagian orang. Misal, candi yang tak berbentuk atau tidak utuh menjulang. Buat aku pribadi, mengunjungi suatu tempat bukan berhitung dengan keelokan saja, tapi faktor sejarah juga menjadi bagian penting.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Kalau kalian berharap Candi Sari sebuah bangunan fenomenal bak candi Mendut, kalian harus mengubur dalam-dalam. Kalian pasti akan kecewa dan bilang, "Zonk!"

Mengelilingi area candi, aku tidak mendapatkan petunjuk apapun mengenai hal ihwal candi Sari. Mungkin Balai Penelitian dan Cagar Budaya (BPCB) Jateng sedang berupaya menguaknya.

Usai dari Candi Sari, aku beranjak menuju candi Lawang. Tujuan utamaku adalah ini. Aku menerobos jalan beberapa dukuh.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Sebuah tikungan (lebih tepat dan bisa disebut tusuk sate) menjadi bandul arah agar aku bersiap memasuki dukuh Dangean. Dukuh ini bagian dari desa Gedangan, di proyeksikan sebagai dukuh wisata. Selain candi Lawang, pengelolaan sapi perah dan pertanian sayur organik menjadi andalan bagi warga untuk menjaring wisatawan.

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Candi Lawang berada ditengah-tengah pemukiman penduduk. Bila kalian mendengar lenguhan sapi, pakaian dijemur, beberapa petak kebon dengan ragam tanaman, jangan kaget. Pagar besi sepertinya sudah lazim menjadi demarkasi bagi yang tak berkepentingan.

Ini berlaku juga bagi aku. Sampai disana aku harus menunda untuk dapat masuk.

"Kan bisa meloncat, atau buka pintu pagar? Bukankah tidak digembok?"

Itu tindakan buruk. Sebagai pengunjung, aku harus menjaga marwah. Sebenarnya bisa masuk dengan cara begitu. Tapi jangan!

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Candi Lawang terdiri dari lima struktur bangunan, yaitu candi Induk, candi Perwara I, candi Perwara II, candi Perwara III dan candi Perwara IV. Pada candi Induk masih dapat dijumpai batur, kaki, tubuh bawah dan pintu. Sedangkan empat struktur bangunan lainnya hanya menyisakan pondasi dan alas saja. 

Candi ini merupakan candi Hindu, dapat diketahui dari ditemukannya yoni. Waktu pembangunannya belum dapat diungkap secara pasti. Berdasarkan langgam bangunan berbentuk genta dan setengah lingkaran dapat kita ketahui periodesasinya saja, yaitu, antara tahun 750 masehi hingga 800 masehi.

Beberapa gambar aku ambil. Mengamati sebentar diluar pagar, akhirnya kuputuskan beranjak pulang.[selesai]

*catatan kaki:

Jika kalian penasaran dan mau mengunjunginya, rute yang lebih mudah adalah lewat Paras, sebuah desa diwilayah Boyolali.

Bagi yang kurang akrab dengan Google Map saya kasih panduan. Dari kota Boyolali arahkan motormu ke jalur menuju Cepogo-Selo (para pendaki sudah pada tahu). Ada gerbang melengkung bertuliskan: Solo-Selo-Borobudur diperempatan jalan. Ikuti saja. Nanti kalian temukan pertigaan dengan papan petunjuk Pesanggrahan Pracimoharjo (sebuah bangunan sejarah. 

Foto: dokumentasi pribadi
Foto: dokumentasi pribadi
Didirikan sekitar tahun 1803-1804 masehi pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV. Pengembangannya dikerjakan diera Sri Susuhunan Pakubuwono X). Ambil kiri notok. Kemudian Ambil kanan dan susuri jalan beraspal.

Jalur itulah yang akan menuntun kalian dengan benar. Dah gitu, aku yakin kalian tak akan tersesat. Kalau tersesat, alhamdulillah...he...he...malah dapat pengalaman. Selamat berpetualang. Eh iya, tambah pesan,"Jangan lupa bawa bekal sejak dari rumah. Itu lebih baik"  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun