Dalam liturgi Paskah pertama, haleluya diarak kembali masuk ke ruang ibadah---sebuah ritus yang menyatakan kesukacitaan besar atas ke menangan Kristus yang mengalahkan kuasa maut dan menandai dimulainya ciptaan baru.Â
Di banyak gereja Protestan di Indonesia, pada hari Paskah haleluya dinyanyikan setelah pembacaan Injil (atau bacaan Alkitab lainnya) dan setelah berkat. Hosiana berganti dengan haleluya".
Nestapa dosa dan maut sudah berlalu. Manusia kini diundang untuk merayakan karya Kristen yang bangkit. Perayaan ini nyata dalam liturgi gereja.Â
Dalam terang pemahaman ini maka Joas Adiprastetya (2021:97) mengemukakan bahwa melalui liturgi, gereja menampilkan dua gerak.
Pertama, gerak rahmat dari atas ke bawah. Kedua, gerak iman dari orang percaya kepada Allah (gerak naik).Â
Dengan demikian, Jumat Agung membawa kita pada nyanyian ratapan yang membawa manusia pada kesadaran akan keberdosaannya tetapi melalui Paskah, jaminan iman akan hidup kekal membawa manusia melesat lebih jauh menuju kemuliaan.
Pada akhirnya, nyanyian ratapan dan sukacita ini bisa kita temui dalam KJ. No. 183:1-2. Perhatikan kalimat dalam nyanyian ini :
1. Menjulang nyata atas bukit kala t'rang benderang salibMu, Tuhanku. Dari sinarnya yang menyala-nyala memancarkan kasih agung dan restu.Â
Seluruh umat insan menengadah ke arah cahya kasih yang mesra. Bagai pelaut yang karam merindukan di ufuk timur pagi merekah.
2. SalibMu, Kristus, tanda pengasihan mengangkat hati yang remuk redam, membuat dosa yang terperikan di lubuk cinta Tuhan terbenam.Â
Di dalam Tuhan kami balik lahir, insan bernoda kini berseri; Teruras darah suci yang mengalir di salib pada bukit Kalvari.