Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Pemanasan Global dan Aplikasinya Bagi Gereja-gereja di Indonesia

7 Oktober 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akar dari krisis ekologis-termasuk masalah pemanasan global-dewasa kini, terletak pada kekeliruan perspektif manusia modern mengenai alam. Alam hanya dianggap obyek yang dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi manusia. Atas nama profit, maka segala bentuk eksploitasi alam dan tindakan tak beretika terhadap alam dapat dihalalkan. Borong pun mengatakan perilaku manusia terhadap alamnya berubah ketika manusia memandang alam dalam sikap "economic wants" dan bukan lagi sekedar "economic needs." Manusia telah mengubah sikapnya terhadap alam dari sikap "butuh" menjadi sikap "serakah" (1999:43).

Cikal bakal dari perspektif tersebut telah dirintis pada zaman Reinasans ketika orang mulai membebaskan diri dari pengaruh Aristoteles dan Gereja, serta pada saat yang bersamaan memperlihatkan minat baru atas alam. Penelitian terhadap alam dan minat terhadap matematika menyebabkan kemajuan yang mengarah pada perumusan teori-teori ilmiah yang lebih memadai, didasarkan pada eksperimen dan diekspresikan dalam bahasa matematis. Inilah embrio sains modern yang kelahirannya kemudian didahului dan disertai perkembangan pemikiran filosofis yang membawa pada rumusan ekstrim dualisme roh atau materi.

Rumusan tersebut muncul pada abad ke-17 dalam filsafat Rene Descartes yang mendasarkan pandangannya atas alam pada pemisahan mendasar dua wilayah terpisah yang independen: wilayah pikiran (res cogitans), dan wilayah materi (res extensa). Menurut Capra (2004:11-12) pembagian Cartesian ini memungkinkan para ilmuwan memperlakukan materi sebagai barang mati dan terpisah sama sekali dari diri mereka, dan melihat dunia material sebagai kumpulan obyek berbeda yang dirakit menjadi suatu mesin besar.

Pernyataan terkenal Descartes "Cogito ergo sum"-aku berpikir, maka aku ada-telah mengantar orang Barat untuk menyamakan identitasnya dengan pikirannya, alih-alih dengan totalitas dirinya. Sebagai konsekuensi pemisahan Cartesian ini, sebagian besar individu menyadari diri mereka sebagai ego-ego terisolir yang ada di "di dalam" tubuh mereka. Pikiran dipisahkan dari tubuh dan diberi tugas sia-sia untuk mengendalikannya, sehingga menyebabkan konflik nyata antara kehendak sadar dan insting bawah sadar. Setiap individu dipisahkankan lebih jauh lagi ke dalam banyak sekali kotak yang terpisah berdasarkan aktivitasnya, bakatnya, perasaannya, kepercayaannya, dan lain-lain, yang terlibat dalam konflik tiada akhir yang akhirnya mengakibatkan kekacauan dan frustasi metafisis yang berlanjut terus-menerus.

Akibatnya alam dipandang sebagai dunia "di luar sana." Alam hanyalah kumpulan obyek dan peristiwa yang terpisah dari realita kemanusiaan. Meskipun harus diakui jika dualisme Cartesian dan pandangan dunia mekanistik memiliki peranan yang penting dalam perkembangan fisika klasik dan teknologi, tetapi saat ini dampak merusak yang diakibatkan berimbas pada pengeksploitasian bumi beserta seluruh isinya. Karena atas sumbangsih Descartes inilah, manusia menjadi makhluk yang over-confidence, yang merasa sebagai tuan atas segala sesuatu dan berhak mendominasi alam untuk dikeruk sebanyak mungkin dan mendapat laba sebesar mungkin.[22]

Berbeda dengan Barat, dunia Timur menganggap alam merupakan sesuatu yang sakral dan ilahi. Di dalam alam yang suci tersebut, manusia diharuskan memberikan penghormatan kepada alam sebagai ibadah kepada Sang Khalik yang telah memberikan bumi beserta isinya. Ketika penghormatan tersebut lalai dikerjakan, maka akibatnya alam akan marah dan menghentikan segala kebaikan yang selama ini ia berikan kepada manusia melalui pelbagai bencana.


Alam juga dipandang sebagai satu realitas tak terpisahkan-selamanya dalam gerak, hidup, organik; spiritual dan material pada saat yang sama. Kemampuan alam secara inheren untuk bergerak harus dipelihara dengan sungguh-sungguh. Segala tindakan manusia yang berhubungan dengan alam, haruslah diperhitungkan dengan hati-hati. Karena ketika satu tindakan nir-etis terhadap alam dilakukan, maka manusia dengan sendirinya sedang mengurai benang-benang jaring pengaman ekologis yang kompleks tersebut. Ketika jejaring pengaman ekologis ini diinterupsi oleh tindakan nir-etis manusia, maka konsekuensinya adalah munculnya berbagai kekacauan dalam ekosistem yang akhirnya bermuara pada timbulnya berbagai bencana tak alami. Karena adanya keterkaitan yang berkesinambungan ini pulalah, maka sepatutnya manusia berprilaku layaknya anggota-anggota rumah tangga lainnya seperti tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang secara inheren membentuk jejaring kehidupan untuk menyokong kehidupan itu sendiri (Capra, 2004:235).

Lalu bagaimana iman Kristen memandang krisis ekologis-khususnya pemanasan global-yang telah menjadi keprihatinan secara global? Robert Borong menyatakan pemanasan global merupakan akumulasi dari tindak pencemaran yang dilakukan manusia modern (1999:82-96). Pencemaran berarti proses mengotori lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Dalam proses tersebut peran dan keterlibatan dari manusia sangatlah dominan, meskipun ada juga pencemaran yang terjadi karena proses alam misalnya melalui gunung berapi, banjir, atau longsor. Namun kini dalam pencemaran lingkungan yang disebabkan proses alam, campur tangan manusia juga tidak kalah dominannya. Artinya pemanasan global merupakan buah tangan dari manusia yang tidak memahami hakekat dari penciptaan alam semesta oleh Allah.

Menurut Alkitab, alam semesta diciptakan Allah untuk tujuan yang luhur, yaitu untuk dimanfaatkan oleh manusia. Tetapi pemakaian ini bukan merupakan pemakaian yang tak bertanggung jawab, karena masih ada tujuan lainnya yaitu untuk dihuni oleh seluruh ciptaan secara bersama. Itu sebabnya Allah adalah Sang Pemilik dari bumi dan seluruh isinya, dan Ia berdaulat atas ciptaanNya tersebut. Manusia diciptakan sebagai bagian dari seluruh ciptaan diberi tugas untuk menguasai bumi. Tetapi penguasaan ini lebih bersifat mandataris, artinya manusia tidak hanya berhak menguras habis Bumi, tapi juga dibebankan dengan tanggung jawab pemeliharaan atas Bumi.

Ketika Allah mencipta alam semesta, Ia tidak berhenti bekerja memelihara alam. Jejaring kehidupan yang terorganisir, seperti rantai makanan, proses fotosintesis, ataupun proses evaporasi, merupakan bukti Allah masih memelihara ciptaanNya. Allah bukanlah Deus Otiosus (Tuhan Yang Menganggur) yang setelah mencipta membiarkan ciptaanNya berjalan sendiri seperti mesin atau menyerahkan tugas pemeliharaan itu kepada manusia. Oleh karena itu sebagai Gambar Allah, manusia seharusnya pun melakukan tindak pemeliharaan terhadap alam. Senada dengan itu, Borong (1999:236) pun mengatakan bahwa penguasaan manusia atas alam yang dilakukan dalam kerangka relasi manusia dan Tuhan, merupakan penguasaan yang mencakup mengetahui ciptaan Allah (Kej 2:19-20), menggunakan dan memanfaatkan sumber-sumber alam (Kej 1:29), dan yang terpenting mengusahakan serta memeliharanya (Kej 2:15). Dalam menjalankan tugas penguasaan alam yang bertanggungjawab, manusia dituntut untuk menjaga dan memelihara alam agar terjamin kelestariannya, dan sekaligus menjadi sumber nafkah yang tak akan habis.

Contoh di Alkitab yang menunjukkan bukti bahwa manusia seharusnya memelihara lingkungan adalah sabat tanah. Dalam Imamat 25:3-7 Allah menghendaki orang Israel untuk mengistirahatkan lahan mereka setelah 6 tahun masa tanam. Maksud dari diadakannya sabat tanah ini agar: (a) umat Allah menyadari bahwa kedudukan bukan sebagai pemilik tanah-karena Allah adalah Sang Pemilik-melainkan hanya penyewa. Pemiliklah yang memiliki kuasa absolut atas tanahnya. Penyewa sebagai pengguna lahan mengusahakan tanah berdasarkan keinginan sang pemilik.; (b) umat menyadari bahwa pengelolaan tanah harus berorientasi pada keberlangsungan hidup di masa yang akan datang. Allah menciptakan tanah tidak hanya untuk satu generasi, tetapi juga untuk kepentingan generasi yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun