Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Masalah Pemanasan Global dan Aplikasinya Bagi Gereja-gereja di Indonesia

7 Oktober 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 2042 0
Pendahuluan



Peningkatan temperatur suhu rata-rata di atmosfer, laut, dan daratan di bumi-yang acapkali diistilahkan dengan pemanasan global-telah menjadi masalah yang berpotensi mengancam keberlangsungan hidup di planet ini. Menurut temuan Intergovernmental Panel and Climate Change (IPCC) yang merupakan sebuah lembaga panel internasional yang beranggotakan lebih dari 100 negara, pada tahun 2005 terjadi peningkatan suhu sebesar 0,6 - 0,7 derajat Celcius (1 derajat Fahrenheit) sejak tahun 1861. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global akan meningkat 1,4 - 5,8 derajat Celcius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100. Bahkan untuk wilayah Asia, peningkatan temperatur rata-rata lebih tinggi sampai mencapai 10 kali lipat.

Penyebab pemanasan global terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui, seperti batubara, minyak bumi, dan gas alam. Pembakaran bahan bakar fosil tersebut melepaskan karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke atmosfer bumi.[1] Ketika atmosfer semakin dipenuhi dengan gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.

Saat ini Indonesia didaulat sebagai negara keempat pembuang emisi gas rumah kaca (Greenhouse Gas/GHG) di dunia. Tetapi jika berdasarkan indikator konversi lahan dan perusakan hutan, posisi Indonesia sebagai "aktor" penyebab pemanasan global berada di posisi ketiga. Terkait dengan itu, Kepala Ekonomi dan Penasihat Pemerintah Inggris untuk Urusan Efek Ekonomi Perubahan Iklim dan Pembangunan Sir Nicholas Stern mengatakan, ada empat penyebab emisi gas rumah kaca, yaitu aktivitas dan pemakaian energi, pertanian, kehutanan, dan limbah. Menurutnya emisi yang terbuang dari kebakaran hutan di Indonesia lima kali lebih besar dari emisi yang terbuang di luar non-kehutanan.[2]

Sebagai ilustrasi, setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan menghasilkan emisi karbon-dioksida 5,6 juta ton/ tahun. Ilustrasi lain, sebuah kendaraan bermotor yang memerlukan bahan bakar 1 liter per 13 km dan tiap hari memerlukan BBM 10 liter, maka emisi karbon-dioksida yang dihasilkan sebanyak 30 kg/hari atau 9 ton/tahun. Jadi bisa dibayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di jalan-jalan Kota Bandung diasumsikan sebanyak 500.000 kendaraan, maka dari sektor transportasi Kota Bandung menyumbang emisi karbon-dioksida ke atmosfer sebanyak 4,5 juta ton/ tahun.[3]

Dampak Pemanasan Global

Saat ini Bandung sudah tak sesejuk 10 tahun yang lampau. Walaupun Kota Bandung tetap masih relatif lebih sejuk jika dibandingkan dengan Kota Jakarta, tetapi sebenarnya suhu udara Kota Bandung sudah jauh lebih panas dibandingkan dua dekade lalu. Dulu, suhu maksimal di Kota Bandung hanya 25 derajat Celcius, sedangkan kini mencapai 30 derajat Celsius. Kepala Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah II Stasiun Geofisika Kelas I Kota Bandung, Henry Subakti, membenarkan adanya kecenderungan kenaikan suhu udara di Bandung dengan tren sebesar 2 derajat Celcius selama dua puluh lima tahun sebesar dua derajat Celcius.[4]

Tetapi dampak pemanasan global tidak hanya perubahan iklim.[5] Seperti efek domino, menghangatnya iklim secara global akan menyebabkan masalah-masalah baru seperti berikut. Yang pertama, kenaikan permukaan air laut. Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat dan akan mencairkan banyak es di kutub-terutama sekitar Greenland-yang selanjutnya akan lebih memperbanyak volume air di laut. Berdasarkan temuan ilmuan yang tergabung dalam Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tinggi permukaan laut di seluruh dunia telah bertambah 10-25 cm selama abad ke-20. Dan disinyalir, ini akan terus meningkat 9-88 cm lagi pada abad ke-21.

Akibatnya kedaulatan Indonesia pun berpotensi terancam. Pasalnya, jika es yang meleleh di kutub-kutub mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi-termasuk laut di seputar Indonesia-terus meningkat, maka pulau-pulau kecil yang terletak di batas terluar Indonesia bisa lenyap dari peta bumi yang pada akhirnya menyebabkan garis kedaulatan negara pun bisa menyusut. Bahkan menurut Emil Salim saat ini sudah hampir 20 pulau kecil telah hilang dari wilayah Indonesia. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang-jika suhu bumi terus menghangat-sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam.[6]

Selain itu, jika permukaan air laut semakin meninggi, sentra-sentra industri dan bisnis-seperti tambak ikan, tambak udang, dan sawah pasang surut-yang bergantung pada kestabilan permukaan air laut terancam gulung tikar. Salah satu penelitian yang dilakukan Institut Pertanian Bogor di daerah pantai Karawang, Bekasi, dan Subang menemukan bahwa pada 1990 telah terjadi kerugian sebesar US$ 55 juta, atau sekitar 120 miliar rupiah, yang diakibatkan oleh kenaikan permukaan air laut, yaitu sekitar 60 cm pada sentra-sentra industri bisnis tersebut.[7]

Dampak yang kedua adalah meningkatnya kondisi cuaca ekstrim yang lazim ditandai dengan badai tropis. Selain badai topan El Nino, La Nina yang merupakan fenomena Lautan Pasifik-atau yang terbaru seperti Topan Nargis di Myanmar-contoh badai tropis lainnya adalah topan Katrina yang menghantam New Orleans pada penghujung Agustus 2005.[8] Selain badai tropis, curah hujan yang semakin tinggi juga akan semakin sering terjadi. Puluhan kota di Indonesia akan dilanda banjir yang hebat seperti yang sering terjadi di Jakarta atau Semarang. Contoh lainnya adalah hujan yang terjadi di Bombay, India pada 26 Juli 2005. Dalam 24 jam, curah hujan telah mencapai 37 inci. Sedangkan ketinggian air mencapai 7 kaki, dan mengakibatkan kurang lebih 1.000 jiwa tewas. Secara rata-rata, saat ini curah hujan di seluruh dunia telah meningkat 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini.

Bertolak belakang dengan itu, gelombang panas yang semakin menyengat selain menguapkan air laut, ia juga menghisap cadangan air tanah. Akibatnya kekeringan pada satu wilayah akan semakin meluas, seperti yang terjadi di Gunung Kidul atau Wonogiri. Contoh lain dari kekeringan yang mengerikan ini adalah seperti yang terjadi di danau Chad, sebuah danau yang berbatasan langsung dengan empat negara yaitu Nigeria, Niger, Kamerun, dan Chad. Danau yang pernah menjadi danau terbesar ke enam di dunia, hari telah mengalami penyusutan sebanyak sepuluh kali dari luas aslinya.[9]

Kondisi cuaca yang ekstrim seperti di atas tentu menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi dunia pertanian Indonesia. Ketidakstabilan cuaca akan menimbulkan ketidakpastian musim tanam dan musim panen. Tidak hanya itu, hujan yang deras akan memicu kebanjiran pada lahan-lahan pertanian, dan sebaliknya kemarau yang panjang akan memicu kekeringan yang parah pada lahan-lahan pertanian. Akibatnya, produktivitas petani akan sangat terganggu. Petani Indonesia yang sudah dipersulit oleh pemerintah dengan kebijakan pangan yang tidak berpihak pada petani; dan saat ini ditambah dengan dampak kenaikan BBM-akan menjadi barisan masyarakat miskin yang baru.[10]

Yang ketiga, mewabahnya penyakit-penyakit tropis. Iklim yang hangat akan membuat wabah penyakit yang lazim ditemukan di daerah tropis, semakin meluas ke daerah yang dingin dan sub-tropis seperti Eropa dan Amerika. Diperkirakan saat ini, 45 persen penduduk dunia tinggal di daerah dimana wabah malaria lazim terjadi. Jika iklim di bumi semakin menghangat, persentase itu akan meningkat menjadi 60 persen.[11] Selain malaria, penyakit lain yang ditularkan oleh nyamuk seperti demam berdarah juga akan melanda di seluruh dunia saat iklim menjadi lebih hangat. Menurut  IPCC, sekitar 3,5 milyar orang di tahun 2085 beresiko terkena penyakit demam berdarah.

Selain dua penyakit tersebut, para ilmuwan memprediksikan akan muncul berbagai penyakit baru. Ini terbukti dengan adanya SARS, flu burung, dan ebola. Contoh wabah lain yang sedang hangat-hangatnya, yaitu Enterovirus 71 atau EV-71. Virus ini menyerang anak-anak, menyebabkan sakit pada tangan, kaki, dan mulut serta kelumpuhan. Penularan dari penyakit ini dapat melalui air liur, tinja, ingus dan lendir dari hidung atau kerongkongan. Beberapa tanda penyakit tersebut meliputi demam, kulit bagai terbakar dan rasa sakit di dalam tenggorokan, mulut, kaki dan ibu jari. Selain di Cina, virus ini telah ditemukan di Vietnam dan Singapura. Disinyalir, wabah ini akan terus merebak di Cina selama beberapa bulan ke depan karena virus itu cepat berkembang dalam cuaca panas.[12]

Berbagai Persetujuan Internasional Mengenai Masalah Pemanasan Global

Karena dampak pemanasan global ini sangatlah luas dan juga meresahkan, maka PBB berinisiatif memprakarsai beberapa konferensi internasional pada masalah lingkungan hidup. Secara keseluruhan PBB telah menyelenggarakan 16 konferensi mengenai masalah perubahan iklim, tetapi dalam artikel ini hanya akan dibatasi pada tiga konferensi yang dianggap paling penting dan juga yang paling sering dikutip di pelbagai buku, yaitu United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Conference of Parties 3 di Kyoto, dan United Nations Climate Change Conference (UNCCC) di Denpasar.[13]

UNCED yang dilaksanakan di Rio de Janeiro Brazil (3-14 Juni 1992) dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya besar-besaran masyarakat global untuk memperbaiki dampak dari kegiatan sosial ekonomi manusia terhadap lingkungan. Para delegasi dari 178 negara selain berupaya membahas masa depan manusia dan keberlanjutan Planet Bumi, mereka juga mulai menyadari kenyataan bahwa perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam harus diintegrasikan dengan masalah-masalah sosial seperti kemiskinan. Kesadaran ini pun memuncak dengan lahirnya konsep "Pembangunan Berkelanjutan" yang didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konsep ini diciptakan untuk mempertemukan dua kubu yang sebelumnya dianggap bertentangan, yaitu pembangunan ekonomi dan konservasi lingkungan.

Pertemuan UNCED mencontohkan bahwa kalau seseorang miskin dan ekonomi suatu negara lemah, maka lingkungan akan menderita; jika lingkungan dirusak dan sumber daya dipergunakan secara berlebihan, masyarakat akan menderita dan ekonomi pun akan memburuk. Salah satu hasil dari UNCED yang kemudian bermuara pada Protokol Kyoto adalah Kerangka Konvensi mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change). Konvensi yang mengikat secara hukum dan ditandatangani oleh 154 negara tersebut bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir.[14]

Hasil lain yang cukup penting dari UNCED adalah Deklarasi Rio. Deklarasi ini berisi 27 prinsip yang dapat diaplikasikan secara universal untuk menjamin perlindungan lingkungan dan pembangunan yang bertanggung jawab. Deklarasi ini dimaksudkan sebagai "Hak-hak Asasi Lingkungan" (Environmental Bill of Rights). Selain itu adalah Konvensi Keanekaragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity) yang bertujuan untuk melestarikan aneka sumber daya genetika/plasma nutfah, spesies, habitat dan ekosistem; menjamin pemanfaatan secara berkelanjutan berbagai sumber daya hayati, dan untuk menjamin pembagian manfaat keanekaragaman hayati secara adil. Dan yang terakhir adalah Prinsip-prinsip Rio tentang Hutan (Rio Forestry Principles) yang terdiri dari 15 prinsip yang secara hukum mengikat para pengambil keputusan di tingkat nasional dan internasional dalam rangka perlindungan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini juga merupakan dasar-dasar proses untuk Konvensi Kehutanan Internasional (International Forestry Convention).[15]

Persetujuan internasional yang berikutnya adalah Protokol Kyoto.[16] Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, yang dibentuk pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada 1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I dalam UNFCCC. [17]

Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB, Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi     rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca seperti Karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrosus Oksida (N2O), Sulfur Heksafluorida (SF6), Hidrofluorokarbon (HFC), dan Perfluorokarbon (PFC) yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.[18]

Pengurangan emisi gas rumah kaca ini diatur melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/ CDM). Mekanisme ini mengatur negara maju (Annex I) dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Melalui mekanisme CDM ini, diharapkan akan memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah:


  1. Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu negara berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
  2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun