Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Pemanasan Global dan Aplikasinya Bagi Gereja-gereja di Indonesia

7 Oktober 2010   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 2042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengurangan emisi gas rumah kaca ini diatur melalui mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism/ CDM). Mekanisme ini mengatur negara maju (Annex I) dalam upayanya menurunkan emisi gas rumah kaca. Melalui mekanisme CDM ini, diharapkan akan memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah:


  1. Membantu negara yang tidak termasuk sebagai negara Annex I, yaitu negara berkembang, dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
  2. Membantu negara-negara Annex I atau negara maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya.


Keuntungan dari CDM adalah negara maju (Annex I) dapat memenuhi target penurunan emisi secara fleksibel dan dengan biaya yang tidak terlalu mahal. Selain itu, CDM memungkinkan pemerintah dan pihak swasta di negara Annex I untuk mengembangkan proyek yang dapat menurunkan emisi gas rumah kaca di negara berkembang.

Setelah proyek ini terbukti dapat menurunkan emisi gas rumah kaca, maka negara Annex I tersebut akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER atau "certified emissions reduction". Kredit yang dihasilkan dari CER ini kemudian akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui CDM, yang dapat digunakan untuk memenuhi target mereka di dalam Protokol Kyoto. Melalui proyek CDM, negara Annex I mendapat keuntungan yaitu dapat melakukan penurunan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika mereka harus mengembangkan proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu negara berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan, transfer teknologi dan pembangunan yang berkelanjutan.

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Cina, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria. Sayangnya Amerika Serikat yang merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar (36,1%) belum meratifikasi protokol tersebut.[19] Pada awal Desember 2007, Australia akhirnya ikut serta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pimpinan di negera tersebut.

Persetujuan internasional mengenai pemanasan global yang termutakhir adalah Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Perubahan Iklim (United Nations Climate Change Conference/UNCCC) diselenggarakan pada 3-15 Desember 2007 di Bali International Conference Centre Nusa Dua, Bali. Konferensi ini diikuti oleh delegasi dari 189, dan para pengamat dari pelbagai organisasi pemerintah dan NGO. Konferensi ini mencakup pertemuan-pertemuan dari beberapa badan, termasuk Konferensi ke-13 dari para negara anggota UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/COP 13), pertemuan ke tiga dari para negara peserta Protokol Kyoto, dan juga pertemuan badan-badan subsider, serta pertemuan dari  menteri tiap negara peserta.

Konferensi ini diharapkan memiliki sasaran agar suhu bumi pada tahun 2050 tidak melebihi 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri. Selain itu konferensi ini pun bertujuan menciptakan pola pembangunan abad ke-21 yang berkadar rendah karbon, mengurangi kemiskinan, menghapus ketimpangan pendapatan antara negara maju dan negara berkembang, dan meningkatkan kesejahteraaan sosial menuju dunia global yang lebih adil antara negara maju dan negara berkembang.


Konferensi itu sendiri didominasi oleh pelbagai negoisasi mengenai keberlangsungan dari Protokol Kyoto. Konferensi ini akhirnya menghasilkan Bali Road Map, yang berisi antara lain:[20] Pertama, adaptasi. Negara peserta konferensi menyepakati untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang, yang ditanggung melalui Clean Development Mechanism (CDM) yang ditetapkan Protokol Kyoto. Proyek ini dilaksanakan oleh Global Environment Facility (GEF). Kesepakatan ini memastikan dana adaptasi akan operasional pada tahap awal periode komitmen pertama Protokol Kyoto (2008-2012), yaitu sebesar 37 juta euro. Walaupun tidak tertutup kemungkinan dikarenakan jumlah proyek CDM, angka ini akan bertambah mencapai sekitar US$ 80-300 juta dalam periode 2008-2012.

Kedua, teknologi. Peserta konferensi sepakat untuk memulai program strategis yaitu alih teknologi mitigasi dan adaptasi yang dibutuhkan negara-negara berkembang. Tujuan program ini adalah memberikan contoh proyek yang konkret, menciptakan lingkungan investasi yang menarik, termasuk memberikan insentif untuk sektor swasta untuk melakukan alih teknologi. GEF akan menyusun program ini bersama dengan lembaga keuangan internasional dan perwakilan-perwakilan dari sektor keuangan swasta. Peserta juga sepakat memperpanjang mandat Grup Ahli Alih Teknologi selama 5 tahun. Grup ini diminta memberikan perhatian khusus pada kesenjangan dan hambatan pada penggunaan dan pengaksesan lembaga-lembaga keuangan.

Ketiga, REDD (Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries) merupakan isu utama di Bali. Para peserta UNCCC sepakat untuk mengadopsi program dengan menurunkan pada tahapan metodologi. REDD akan memfokuskan pada penilaian perubahan cakupan hutan dan kaitannya dengan emisi gas rumah kaca, metode pengurangan emisi dari deforestasi, dan perkiraan jumlah pengurangan emisi dari deforestasi. Deforestasi dianggap sebagai komponen penting dalam perubahan iklim sampai 2012. Dengan skema REDD ini, Indonesia berpotensi mendapatkan dana yang cukup besar mengingat Indonesia memiliki hutan tropis terluas setelah Brazil dan Nigeria.[21]

Keempat, IPCC. Peserta sepakat untuk mengakui Laporan Assessment Keempat dari the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai assessment yang paling komprehensif dan otoritatif.

Krisis Ekologis Dalam Iman Kristen

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun