Mohon tunggu...
Rois Alfauzi
Rois Alfauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Ilmu Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penulis merupakan mahasiswa S2 Konsentrasi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Agama dan Negara di Indonesia Dilihat dari Legalitas Perbankan Syariah

18 Januari 2021   18:16 Diperbarui: 18 Januari 2021   18:26 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Latar Belakang

Indonesia mempunyai model agama sebagai semangat bernegara, Indonesia tidak menganut kepada agama tertentu, namun negara berdasar pada prinsip ketuhanan, dan negara memberikan jaminan kebebasan beragama pada warganya, membahas relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia pada perkembangan awalnya tidak mungkin melupakan tokoh semacam Cristian Snouck Hurgronje pencetus teori receptie, Van den Berg pencetus teori reception in complexu dan Hazairin pencetus teori receptie exit, dalam beberapa praktik hukum masyarakat ditemukan parktik yang berdasarkan kepada syari’ah Islam. 

Masyarakat bertindak dalam praktik hukum seperti perkawinan, waris, jual beli dan beberapa lainnya menggunakan syariah Islam sebagai dasar hukumnya.[1] Pengambilan teori Cristian Snouck Hurgronje masih dilanjutkan hingga kini dengan serangkaian pengaturan hukum dalam bentuk perundang-undangan formil yang diadopsi dari warisan kekuasaan Belanda secara konkordinasi. syariah Islam hanya memilki wilayah pengaturan selama ditentukan dan diberikan kewenangan oleh undang-undang resmi buatan negara. Sementara wilayah lain, pengaturan hukum masih menjadi kewenangan hukum negara yang tidak mengadopsi syariah Islam, dalam hal ini hukum penguasa kolonial Belanda.[2]

Demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan maka diperlakukan lembaga penegakan hukum yang memadai. Dalam hal penegakan hukum di Indonesia, Peradilan Agama merupakan salah satu lembaga penegakan hukum atau badan peradilan yang melakukan tugasnya diberikan oleh undang-undang yang dikhususkan bagi orang yang beragama Islam atau yang menundukan diri pada hukum Islam secara sukarela yang dimulai dengan proses penerimaan, pemeriksaan, proses mengadili, dan menyelesaikan perkara yang tertera dalam Pasal 49 sampai Pasal 53 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.

Perubahan Undang-Undang Peradilan Agama pada tahun 2006 memberikan konsekuensi kepada Peradilan Agama yaitu dengan memberikannya untuk menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara perdata berupa sengketa ekonomi syariah yang meliputi sengketa bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksa dana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah dll.[3] Meskipun kewenangan Pengadilan Agama dalam menangani sengketa ekonomi syariah yang telah tertulis secara eksplisit dalam Pasal 49 UUPA dan pesatnya pertumbuhan Perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah (LKS) tidak serta merta memperbanyak sengketa ekonomi syariah yang dibawa ke Pengadilan Agama.

Perbankan merupakan salah satu dari lembaga keuangan yang mempunyai peran dan fungsi yang secara strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga perbankan ialah perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). 


Praktek perbankan bukanlah merupakan aktifitas perekonomian asli Indonesia namun sebuah praktek perekonomian yang diperkenalkan oleh Belanda lewat VOC kepada bangsa Indonesia yang waktu itu disebut Hindia Belanda. Perusahaan yang benar-benar resmi didirikan untuk menjalankan usaha bank yakni NV De Javasche Bank, bank ini didirikan berdasarkan Besluit Nomor 28 tangal 11 Desember 1827 mengenai Octrooi Reglement voor De Javasche Bank.[4]

Pada awal keberadaannya di Indonesia praktek perbankan mendasarkan operasionalnya pada sistem bunga. Praktek perbankan yang telah bertumpu pada bunga tersebut dirasa bertentangan dengan keyakinan keagamaan umat Islam di Indonesia yang notabenenya sebagai mayoritas. Sistem bunga ini hampir identik dengan sistem riba yang keharamannya tidak diragukan lagi.[5]

Eksistensi dari perbankan yang sangat penting dan strategis bagi kehidupan bangsa menjadikannya tidak dapat lepas dari keterlibatan negara yang mengaturnya. Setelah Indonesia merdeka berbagai produk hukum yang mengatur perbankan sudah dihasilkan, baik dalam bentuk Undang-undang, Perppu, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Bank Indonesia. Kemudian berbagai produk hukum tersebut dijadikan dua kelompok yakni yang secara spesifik mengatur Bank Indonesia selaku bank sentral dan mengatur perbankan secara umumnya.

Awal pertumbuhan ekonomi Islam ditandai dengan pendirian bank Islam atau bank syariah, maka praktik ekonomi Islam yang ada di Indonesia ditandai dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada Tahun 1991, saat itu belum memakai nama Bank Syariah tetapi sebagai bank bagi hasil, karena belum ada payung hukum yang menjadi naungan berdirinya bank syariah di Indonesia.[6] Kemudian baru beroperasi tahun 1992 sebab landasan secara yuridis perbankan syariah baru benar diperoleh ketika UUP 1992 disahkan pada 25 Maret 1992, 

akan tetapi pengakuan akan keberadaan perbankan syariah masih bersifat samar-samar oleh karena kecuali redaksi yang dipakai tidak tegas dan eksplisit, jumlah normnaya yang ada terbatas.[7] Selanjutnya  diikuti dengan pendirian Bank Umum Syariah lainnya, Pemebentukan Unit Usaha Syariah oleh bank konvensional dan pendirian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Pengaturan tentang kegiatan perbankan syariah pertama kalinya diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dengan penyebutan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” tanpa memberikan definisi dari prinsip bagi hasil tersebut, kemudian istirlah tersebut dijelaskan dalam PP No. 72 Tahun 1992.[8]

Pengaturan perbankan syariah Pada Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, penyebutan istilah “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” diubah dengan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”. Sepuluh tahun berikutnya pemerintah telah mengesahkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 yang secara khusus mengatur perbankan syariah, selanjutnya istilah “bank berdasarkan prinsip syariah” diubah dengan istilah “bank syariah”. Sehingga semua bank yang berlabel syariah menjalankan dengan prinsip syariah. Prinsip syariah mempunyai pengertian dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1998, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa dibidang syariah.[9]

Perbankan syariah di Indonesia mengikuti tidak hanya hukum Islam namun juga hukum nasional yang secara langsung atau tidak langsung mengaturnya. Sebab relevansi hukum Islam lebih fokus pada aspek kegiatan usaha bank syariah, sedangkan aspek lainnya merupakan wilayah yang kecenderungan netral secara alamiah dapat diakomodir hukum Islam. Dalam segala hal kebutuhan negara, Indonesia menjalankan prinsip pemerintahan beriringan dengan agama, dari berbagai jenis pemasukan, investasi maupun dagang tidak lepas dari prinsip-prinsp keagamaan yang terutama syariat Islam, bentuk syariat diterima oleh semua lapisan masyarakat dari berbagai agama hingga suku, dikarenakan pemerintah tidak condong hanya kepada umat tertentu saja, namun pemerintah menyeimbangkan segala hal dan berbagai aspek bagi seluruh masyarakat, dan memberikan pos-pos tersendiri agar dapat memilih sesuai dengan keyakinan dan kebutuhannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas maka terdapat rumusan masalah tentang hubungan agama dan negara terhadap perbankan syariah di Indonesia sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk legalitas perbankan syariah di Indonesia ?

2. Bagaimana jaminan kepastian hukum produk perbankan syariah ?

C. Pembahasan 

1. Bentuk Legalitas Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun realitas pada saat ini hubugan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam bentuk (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama dan negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya terpisah. 

Didalam hubungan seperti ini terdapat berbagai aspek keagamaan yang masuk dalam negara dan ada pula aspek kenegaraan yang masuk dalam atau memerlukan litigasi agama. Perlunya mengenal negara Indonesia, sebab Indonesia seringkali dikatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, namun Indonesia ialah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara filosofis mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. 

Bahkan agama sebagai dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1 yakni “ Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” berdasarkan sila pertama pancasila dan pasal 29 ini sejumalah ahli Hukum Tata Negara seperti Islamil Suny, yang mengatakan bahwa sistem ketatanegaraan di Indonesia mengakui tiga bentuk kedaulatan yakni kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan Kedaulatan Tuhan.[10]

Aksioma mengatakan bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Roscue pound telah lama berbicara tentang “law as a tool of soscial engineering” sebagai keinginan itu wajar jika ada upaya untuk meletakan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan relevan. 

Pengaruh politik terhadap hukum dapat  berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe Nonet pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[11]

Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas Islam tentunya tidak lepas dari hukum Islam sebagai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan warganya namun Indonesia juga bukan negara Islam oleh karenanya pemberlakuan hukum Islam tidak dapat diberlakukan secara otomatis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita, Umat Islam mempunyai jalur hukum yang memadai dalam aplikasinya, dalam implementasi hukum Islam masih sebatas hukum yang memang sudah ada sebelumnya dan mengalami penyempurnaan. Hukum Islam selama ini mencakup bidang keluarga, kewarisan, perkawinan dan ekonomi syariah.

Dalam bidang ekonomi antara lain dapat dilihat dalam bentuk hukum positif yang mengatur dan menjadi sebuah hukum materil yang berlaku dan mengikat umat Islam dalam asas personalitas keislaman. Kebijakan politik Indonesia memberikan dukungan yang pertama kali dengan legislasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kemudian di rubah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 dan kemudian di rubah menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[12]

Pemberian legalitas hukum untuk devisi ekonomi syariah melalui perbankan syariah tidak serta merta melalui proses yang mudah, mempertimbangkan segala aspek yang menjadi tolak ukur antara kebiasaan masyarakat, politik, agama dan negara. Pembuatan legalitas hukum sebagai dasar menjalankan sebuah hukum tentunya juga menuai banyak kritikan, masukan, maupun penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Indonesia yang tentunya bukan hanya mempunyai satu agama yakni Islam juga akan mempengaruhi dalam penyeimbangan regulasi tersebut. Pemerintah memberikan kelonggaran atas masukan rakyat sebagai penghormatan bahwa kedaulatan rakyat juga merupakan hal utama dalam membangun sebuah hukum.

Prinsip syariah atau regulasi yang di maksud Undang-Undang Perbankan tersebut tertuang pada Pasal 1 angka 12 yakni “Prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Prinsip dari hukum Islam yang dijadikan dasar penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah ini ditentukan bahwa terdapat dalam fatwa yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Dalam melaksanakan kegiatan usaha dan atau produk dan jasa syariahnya wajib tunduk kepada Prinsip syariah sebagaimana yang difatwakan oleh MUI.

Dalam konteks regulasi, negara Indonsia menerapkan persoalan khusus dalam penerapan legislasi hukum perbankan berdasarkan syariat agama Islam hal ini dapat di ketahui bahwa MUI menuangkan fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia yang disusun oleh komite perbankan syariah, MUI mengakui sebagai lembaga yang berwenang untuk menerbitkan fatwa yang dijadikan dasar dalam kegiatan usaha perbankan syariah. Sebagian besar dari fatwa-fatwa DSN MUI itu kemudian diadopsi oleh bank Indonesia atau kementerian keuangan Republik Indonesia yang menjadi peraturan perundangan, dan menjadi bagian dari Undang-Undang.

Pengadopsian fatwa kedalam sebuah peraturan perundang-undangan tiada lain merupakan sebuah proses taqnin (positifisasi hukum). Fatwa yang tadinya tidak mengikat dan hanya bersifat normatif bertransformasi menjadi peraturan perundang-undangan yang mengikat. Secara substansial peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah sudah berada jalur syar’i, setidaknya hal ini menurut ulama otoritatif yang berhimpun dalama DSN atau Dewan Syariah Nasional.[13] Kali ini hukum syariah diterima oleh negara dalam peraturan perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional.

Interaksi antara hukum nasional dan hukum Islam tersebut telah menjadikan bidang hukum yang menarik untuk didalami. Setelah sekian lama adanya hukum barat sebagai sumber hukum nasional, kini kita ditantang untuk melihat hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum utama dalam menciptakan salah satu hukum yang penting yaitu hukum perbankan dan keuangan syariah.

Karakteristik Hukum Islam yang berbentuk fatwa adalah sifat dinamisnya, ia mudah menyesuiakan dengan perkembangan zaman sehingga membuatnya senantiasa relevan dan aktual setiap saat. Namun pada sisi yang lain, hukum Islam yang berbentuk fatwa tidak mempunyai daya ikat termasuk kepada pencari fatwa, kecuali atas dasar keyakinan keimanannya. Kecuali itu transformasi fatwa yang menjadi Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang butuh proses panjang demi terpenuhinya persyaratan yuridis persoalannya sendiri ialah persoalan hasil akhir dari fatwa tersebut. Fatwa DSN mempunyai kedudukan yang unik terkait dengan daya ikatnya, sebagai fatwa kegamaan yang dikeluarkan oleh institusi yang mempunyai otoritas dibidangnya, fatwa DSN MUI hanya mengikat atas dorongan keimanan, sama seperti hukum Islam pada umumnya, sebagian fatwanya telah diserap dan diadopsi atau dimuat ulang dalam peraturan perundang-undangan dan daya ikatnya bersifat mutlak.

Negara memberikan alasan bahwa entitas fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sebanding dengan PBI sebagai produk hukum yang sama-sama diperintahkan dan diakui oleh Undang-Undang PBS, meskipun fatwa DSN MUI tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan, dengan demikian, fatwa DSN MUI diakui dan diamanatkan untuk penjabaran prinsip syariah yang merupakan unsur esensial operasional perbankan syariah, sedangkan PBI diperintahkan untuk mengatur lebih lanjut implementasi fatwa DSN-MUI artinya keduanya merupakan pengaturan lebih lanjut dan mendapat amanat dari UU PBS.[14] 

Konsep relasi agama dan negara yang dituangkan dalam sistem perbankan syariah tersebut dapat diketahui bahwa negara tidak lepas dari korelasinya dengan agama, fatwa adalah sebuah ketetapan hukum yang digali dari berbagai kaidah hukum Islam oleh anggota yang berwenang sebagai penemuan sumber hukum yang memadai, dari sini maka dapat kita lihat bahwa fatwa perbankan dapat digunakan oleh pihak pemerintah terutama pihak bank indonesia, kementerian keuangan dan dijadikan sumber patokan utama disamping sumber patokan hukum nasional yang berlaku.

Melihat kedalam teori receptio a contrario yang dicetuskan oleh Hazairin dengan pernyataan bahwa teori resepsi tidak dapat digunakan untuk melihat kenyataan-kenyataan dan masalah-masakah dasar hukum di Indonesia, menurut Hazairin keistimewaan hukum agama adalah bahwa hukum agama bagi rakyat Islam dirasakan sebagai bagian dari perkara iman. Oleh karenanya kenyataan adanya regulasi perbankan syariah saat ini di Indonesia mengukuhkan eksistensi teori receptio a contrario yang meneguhkan teori positifisasi hukum Islam. Positifisasi hukum Islam dengan menggunakan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional didasarkan UU No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2015 sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Positifisasi hukum Islam dengan menggunakan hukum Islam disandarkan pada dasar negara Pancasila yaitu sila pertama dan UUD pasal 29 ayat 1. [15]

Maka dengan demikian didalam konteks politik hukum dalam dimensi kebijakan pemberlakuan hukum, perbankan syariah dapat dijelaskan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal dan eksternal. Secara internalnya, hukum Islam diakui salah satu sumber dalam pembentukan sistem hukum nasional selain hukum adat dan hukum barat yang memiliki kedudukan yang sama dan seimbang. Secara eksternal, tuntutan perkembangan perbankan syariah di level global dan nasional tentu memerlukan landasan hukum yang tegas dan jelas, hal ini mutlak untuk menciptakan kepastian hukum yang di didukung oleh agama dan negara.

2. Jaminan Kepastian Hukum Produk Perbankan Syariah

 Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia baru pada akhir abad XX ini memiliki bank-bank yang berdasar pengelolaannya pada prinsip syariah. Pada awal berdirinya negara Indonesia perbankan masih berpegang pada sistem konvensional atau sistem bunga bank (interest system). Semula pengaturan mengenai produk-produk perbankan syariah didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasioan Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), yang secara yuridis tidak mempunyai kekuatan mengikat secara umum (terbatas pada orang yang meminta fatwa), maka ada pendapat bahwa fatwa-fatwa tersebut hendak dijadikan sebagai hukum positif dengan jalan memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan. Mengingat kewenangan pengaturan terhadap bank secara teknis ada pada Bank Indonesia, karena ketentuan yang ada dalam fatwa DSN itu tepat jika dimasukan ke dalam peraturan Bank Indonesia.

Pembentukan Undang-Undang ini dipertimbangkan bahwa perlunya sebuah aturan spesifik atau khusus dalam suatu undang-undang tersendiri yang mengatur perbankan syariah. Sejalan dengan itu, sesuai dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, maka dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah dengan mengangkatnya kedalam sistem hukum nasional.[16]

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 telah diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha penyaluran dana dan larangan bagi bank syariah ataupun unit usaha syariah yang merupakan bagian dari bank umum konvensional. Sementara itu, untuk memberikan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim, yang pelaksanaannya dilakukan secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (Istiqomah). Dengan demikian

Sementara itu dalam pengembangan prodak perbankan syariah memerlukan prinsip-prinsip sebagai jalannya prodak yaitu sebagai upaya penyeimbang antara kegiatan yang bersifat dinamis dan konsisten, maka dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 telah dirumuskan pengertian prinsip syariah tersebut yaitu: 

“prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahakan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”.

 Sementara itu, dalam pasal 1 angka 12 UU No. 21 Tahun 2008 telah dirumuskan pula prinsip syariah yaitu

“prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lemabaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syaraiah”

Dalam kegiatan penghimpunan dana serta pelayanan jasa maka diperlukan peraturan perjanjian tertulis (akad) menrut hukum Islam sesuai dengan syariah yaitu sesuai dengan fatwa DSN MUI. Kejelasan akad penghimpunan dan penyaluran dana akan membantu operasional bank sehingga menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak dalam industri perbankan syariah. Agar mencapai kepastian hukum dalam legalitas prodak perbankan syariah maka dapat diketahui relasi agama dan negara dalam suatu peraturan yang di adopsi pemerintah yaitu peraturan bank indonesia berdasarkan fatwa.

 Sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 3 PBI No. 10/16/PBI/2008, pemenuhan prinsip syariah dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam, ketentuan pokok hukum Islam itu menurut pasal 2 ayat 3 PBI No. 10/16/PBI/2008 tersebut antara lain adalah prinsip keadilan (adl wa tawazun), kemaslahatan, universalisme, serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram, dengan kata lain akad akad muamalah tidak boleh mengandung hal-hal yang dilarang itu dan menerapkan prinsip kehati-hatian sebagai upaya dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian, bank memiliki dan menerapkan antara lain sistem pengawasan intern. Kemudian dalam dimensi transaksi prinsip syariah menekankan transaki keuangan yang etis (ethical), sosial (social), dan religius (religious) demi meningkatkan keadilan (equity), dan kewajaran (fairness) demi kepentingan masyarakat.[17]

Semua uraian tersebut pada hakekatnya merupakan  political will (kemauan politik) dan political back up (dukungan politik) pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah dalam dunia perbankan, jika dianalisis pertimbangan dibuatnya UU Perbankan syariah tersebut dapat dikatakan sesuai dengan kondisi penduduk Indonesia secara demografis, dimana selain penduduk mayoritas beragama Islam, juga penduduk yang bergama Islam merupakan penduduk dalam golongan ekonomi lemah, kehadiran perbankan syariah akan dipandang sesuai dengan rasa keagamaan mereka, selain diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.[18]

 Dalam konteks perbankan syariah ini, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 20 UU No. 21 Tahun 2008 dapat diketahui bahwa jenis dana yang dihimpun dari masyarakat oleh perbankan syariah bisa berbentuk simpanan (giro) pada giro ini terdapat dua jenis akad yaitu akad wadi’ah (titipan) dan mudharabah (bagi hasil) , simpanan tabungan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah , dan bentuk lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Simpanan dana masyarakat ini merupakan salah sumber dana perbankan syariah disamping modal sendiri dan pinjaman dari pasar uang antar bank berdasarkan prinsip syariah (PUAS), yang penempatannya berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.[19]

Hal ini menjadi suatu perimbangan disisi agama dan negara dalam penerapan regulasi hukum, negara hukum yang mayoritas muslim dapat menerapkan regulasi hukum dengan dua pembilah yaitu hukum positif dan hukum Islam secara bersamaan maupun beriringan, penerapan hukum nasional yang dibarengi oleh hukum Islam sedimikian rupa membuat takjub dikalangan pemerintah luar negeri akan hukum negara Indonesia. Pemerintah luar negeri merasa bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat berjalan sesuai koridor hukum yang dijalankan, namun Indonesia dapat memberi keseimbangan diantara keduanya. Sebab disatu sisi pemerintahan Indonesia juga didukung oleh para ulama berdasarkan kesepakatan bersama berlandas hukum agama yakni hukum agama Islam.

 Untuk menjamin kepastian hukum yang diragukan oleh masyarakat maka dalam penjelasan umum atas UU No. 21 Tahun 2008 antara lain dikemukakan sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional perbankan syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandurng unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram dan zalim.[20] maka dasar dari kepastian hukum terhadap legalitas produk perbankan syariah ini yaitu telah terciptanya ketetapan hukum yang jelas sesuai dengan hukum islam dan prinsip syariah,  bahwa kepastian hukum itu sifatnya memberi jaminan bahwa hukum tersebut telah dijalankan sesuai dengan keadilan yang mengikat dan memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu aturan yang harus ditaati. Serta adanya kejelasan tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif sehingga mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.

D. Penutup

1. Kesimpulan

  • Pemberian legalitas hukum perbankan syariah di Indonesia, membutuhkan peran Hukum Islam dalam pengaplikasiannya yaitu dengan mengadopsi fatwa-fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai penguat kesyariahan pembuatan peraturan perundang-undangan yang mengikat dan dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) serta Undang-undang Perbankan Syariah (UUPS).
  • Dalam menjamin kepastian hukum produk perbankan syariah negara memberikan kepastian dengan adanya prinsip syariah yaitu sebuah prinsip yang tidak bertentangan dengan agama seperti keadilan dan keseimbangan (adl wa tawazun), kemaslahatan, universalisme serta tidak mengandung riba, maysir, gharar, zalim, dan obyek haram, dengan prinsip syariah tersebut yakni sebagai syarat jalannya kegiatan perbankan syariah, agar mendapatkan suatu kepastian hukum yang tetap hingga dalam implementasinya tidak diragukan lagi oleh masyarakat.
  • Perbankan syariah telah menjalankan prosedur prinsip syariah dengan menggunakan akad mudharabah, musharakah, ijarah dan ijarah waqti’na, sebagai karakteristik suatu perbankan syariah, hingga akad tersebut juga ditetapkan didalam peraturan Bank Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Al-hakim, Sofyan, Perkembangan Regulasi Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal   Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, Vol. 13, No. 1, Juni-2013.

Asyari, Hasyim, Relasi Negara dan Agama di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding, 2008-2009.

Baehaqi, Ja’far, Dinamika Dan Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Semarang: Walisongo Press, 2016.

Baehaqi, Ja’far, Transformasi Hukum Islam dalam hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal wacana hukum islam dan kemanusiaan, Vol. 14, No. 2, Desember 2014.

Gunawan, Edi, Relasi Agama dan Negara: Perspektif Pemikiran Islam, Jurnal Kuriositas, Vol. 11, No. 2, Desember 2017. 

Hafidah, Noor, Implementasi Konsep Jaminan Syariah Dalam Tata Aturan UU Perbankan Syariah, Jurnal Arena Hukum, Vol. 6, No. 2, Agustus 2012

Hasnita, Nevi, Politik Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, Vol. 1 No. 2, Januari-Juni, 2012.

 Julijanto, Muhammad, Implementasi Hukum Islam di Indonesia Sebuah Perjuangan Politik Konstitusionalisme, Jurnal Annual International Confederence On Islamic Student, AICIS XII 

Ramadhan, Muhammad, Politik Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia, Jurnal    Miqot, Vol. XL, No. 2, Juli-Desember, 2016.

Sjahdeini, Sutan Remy, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-Aspek Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2018. 

Suadi, Amran, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik ed Revisi, Jakarta: Kencana, 2017.

Suny, Ismail, Mekanisme Demokrasi Kita, Jakarta: Aksara Baru, ed 6, 1987.

Usman, Rochmadi, Produk dan Akad Perbankan Syariah di Indonesia (Implementasi dan Aspek Hukum), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2009.

Zulfikri, Kepastian Hukum Akad Murabahah Pada Jual Beli Rumah Melalui Perbankan Syariah, Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, Vol. 2, No. 1, Juni-2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun