Mohon tunggu...
Rois Alfauzi
Rois Alfauzi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Ilmu Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Penulis merupakan mahasiswa S2 Konsentrasi Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relasi Agama dan Negara di Indonesia Dilihat dari Legalitas Perbankan Syariah

18 Januari 2021   18:16 Diperbarui: 18 Januari 2021   18:26 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Aksioma mengatakan bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter tertentu pula. Roscue pound telah lama berbicara tentang “law as a tool of soscial engineering” sebagai keinginan itu wajar jika ada upaya untuk meletakan hukum sebagai penentu arah perjalanan masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan masyarakatnya akan relevan. 

Pengaruh politik terhadap hukum dapat  berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Philipe Nonet pernah mengatakan bahwa tingkat perkembangan masyarakat tertentu dapat mempengaruhi pola penegakan hukumnya.[11]

Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas Islam tentunya tidak lepas dari hukum Islam sebagai seperangkat aturan yang mengatur kehidupan warganya namun Indonesia juga bukan negara Islam oleh karenanya pemberlakuan hukum Islam tidak dapat diberlakukan secara otomatis dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kita, Umat Islam mempunyai jalur hukum yang memadai dalam aplikasinya, dalam implementasi hukum Islam masih sebatas hukum yang memang sudah ada sebelumnya dan mengalami penyempurnaan. Hukum Islam selama ini mencakup bidang keluarga, kewarisan, perkawinan dan ekonomi syariah.

Dalam bidang ekonomi antara lain dapat dilihat dalam bentuk hukum positif yang mengatur dan menjadi sebuah hukum materil yang berlaku dan mengikat umat Islam dalam asas personalitas keislaman. Kebijakan politik Indonesia memberikan dukungan yang pertama kali dengan legislasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, kemudian di rubah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 dan kemudian di rubah menjadi Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.[12]

Pemberian legalitas hukum untuk devisi ekonomi syariah melalui perbankan syariah tidak serta merta melalui proses yang mudah, mempertimbangkan segala aspek yang menjadi tolak ukur antara kebiasaan masyarakat, politik, agama dan negara. Pembuatan legalitas hukum sebagai dasar menjalankan sebuah hukum tentunya juga menuai banyak kritikan, masukan, maupun penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Indonesia yang tentunya bukan hanya mempunyai satu agama yakni Islam juga akan mempengaruhi dalam penyeimbangan regulasi tersebut. Pemerintah memberikan kelonggaran atas masukan rakyat sebagai penghormatan bahwa kedaulatan rakyat juga merupakan hal utama dalam membangun sebuah hukum.

Prinsip syariah atau regulasi yang di maksud Undang-Undang Perbankan tersebut tertuang pada Pasal 1 angka 12 yakni “Prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah”. Prinsip dari hukum Islam yang dijadikan dasar penyelenggaraan kegiatan perbankan syariah ini ditentukan bahwa terdapat dalam fatwa yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Dalam melaksanakan kegiatan usaha dan atau produk dan jasa syariahnya wajib tunduk kepada Prinsip syariah sebagaimana yang difatwakan oleh MUI.

Dalam konteks regulasi, negara Indonsia menerapkan persoalan khusus dalam penerapan legislasi hukum perbankan berdasarkan syariat agama Islam hal ini dapat di ketahui bahwa MUI menuangkan fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia yang disusun oleh komite perbankan syariah, MUI mengakui sebagai lembaga yang berwenang untuk menerbitkan fatwa yang dijadikan dasar dalam kegiatan usaha perbankan syariah. Sebagian besar dari fatwa-fatwa DSN MUI itu kemudian diadopsi oleh bank Indonesia atau kementerian keuangan Republik Indonesia yang menjadi peraturan perundangan, dan menjadi bagian dari Undang-Undang.

Pengadopsian fatwa kedalam sebuah peraturan perundang-undangan tiada lain merupakan sebuah proses taqnin (positifisasi hukum). Fatwa yang tadinya tidak mengikat dan hanya bersifat normatif bertransformasi menjadi peraturan perundang-undangan yang mengikat. Secara substansial peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perbankan syariah sudah berada jalur syar’i, setidaknya hal ini menurut ulama otoritatif yang berhimpun dalama DSN atau Dewan Syariah Nasional.[13] Kali ini hukum syariah diterima oleh negara dalam peraturan perundang-undangan positif yang berlaku secara nasional.

Interaksi antara hukum nasional dan hukum Islam tersebut telah menjadikan bidang hukum yang menarik untuk didalami. Setelah sekian lama adanya hukum barat sebagai sumber hukum nasional, kini kita ditantang untuk melihat hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum utama dalam menciptakan salah satu hukum yang penting yaitu hukum perbankan dan keuangan syariah.

Karakteristik Hukum Islam yang berbentuk fatwa adalah sifat dinamisnya, ia mudah menyesuiakan dengan perkembangan zaman sehingga membuatnya senantiasa relevan dan aktual setiap saat. Namun pada sisi yang lain, hukum Islam yang berbentuk fatwa tidak mempunyai daya ikat termasuk kepada pencari fatwa, kecuali atas dasar keyakinan keimanannya. Kecuali itu transformasi fatwa yang menjadi Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang butuh proses panjang demi terpenuhinya persyaratan yuridis persoalannya sendiri ialah persoalan hasil akhir dari fatwa tersebut. Fatwa DSN mempunyai kedudukan yang unik terkait dengan daya ikatnya, sebagai fatwa kegamaan yang dikeluarkan oleh institusi yang mempunyai otoritas dibidangnya, fatwa DSN MUI hanya mengikat atas dorongan keimanan, sama seperti hukum Islam pada umumnya, sebagian fatwanya telah diserap dan diadopsi atau dimuat ulang dalam peraturan perundang-undangan dan daya ikatnya bersifat mutlak.

Negara memberikan alasan bahwa entitas fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI sebanding dengan PBI sebagai produk hukum yang sama-sama diperintahkan dan diakui oleh Undang-Undang PBS, meskipun fatwa DSN MUI tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan, dengan demikian, fatwa DSN MUI diakui dan diamanatkan untuk penjabaran prinsip syariah yang merupakan unsur esensial operasional perbankan syariah, sedangkan PBI diperintahkan untuk mengatur lebih lanjut implementasi fatwa DSN-MUI artinya keduanya merupakan pengaturan lebih lanjut dan mendapat amanat dari UU PBS.[14] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun