Mohon tunggu...
Rofi Lutfiani
Rofi Lutfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

Sapere aude, incipe!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Selebriti: Paradoks Demokrasi Indonesia Pasca Era Reformasi

30 Januari 2021   07:13 Diperbarui: 30 Januari 2021   08:52 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar : kompas.com

Runtuhnya Orde Baru membuka jalan bagi terjadinya reformasi, restrukturisasi birokrasi, dan demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi dimaknai sebagai suatu proses untuk menegakkan kembali nilai-nilai demokrasi yang hakiki sehingga kebebasan rakyat dapat diwujudkan, kedaulatan dapat ditegakkan, dan pengawasan atas lembaga eksekutif oleh lembaga legislatif (DPR) dapat dilakukan (Budiardjo, 2008, p. 134). Lebih dari 20 tahun setelah reformasi, dinamika politik dan demokrasi di Indonesia mengalami berbagai perkembangan.

Rekrutmen politik yang pada awalnya hanya terbatas pada dominasi partai dan bacaleg dari kalangan “elit pemerintahan” kini bergeser menjadi lebih welcome terhadap kandidat lain, tak terkecuali para artis.

Pada mulanya, para selebriti ini memegang tugas sebagai brand ambassador partai politik dan kadernya dalam mekanisme pemilihan umum. Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan pengejawantahan terhadap pemahaman hak asasi manusia untuk berpartisipasi dalam politik, para selebriti memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi salah satu finalis kontestasi politik bakal calon terpilih atau vote getter.

Pemilu Legislatif 2019 menampilkan sederet nama selebritis yang ikut serta dalam ajang perebutan kursi Senayan. Data menunjukkan beberapa partai besar tidak tanggung-tanggung dalam menyodorkan kandidat dari kaum selebritis. Partai Nasdem dengan 37 calon, PDIP mengusung 16 calon, dan PAN sebanyak 12 calon (Subandi, 2020).

Sebut saja beberapa nama seperti Krisdayanti, Manohara, Arzeti Bilbina, Ahmad Dhani, hingga Denada. Sepak terjang mereka di dunia hiburan pun beragam. Ada yang merupakan pemain film, presenter, penyanyi, bahkan musisi. Berbekal popularitas dan nama harum yang sudah semerbak di masyarakat, mereka yakin telah cukup bekal untuk melenggang ke pusat. Kondisi yang demikian ini juga menjadi santapan menggiurkan bagi parpol yang mengusung.

Menengok Kesuksesan Krisdayanti Meraup Suara

Contoh kesuksesan selebriti yang berhasil menduduki kursi Senayan adalah Krisdayanti yang memenangkan suara di Dapil Jawa Timur V. Media massa menjadi objek citra yang penting dalam menempatkan posisinya menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu, metode door to door atau akrab disapa dengan blusukan juga tercatat sebagai teknik yang digunakan Krisdayanti dalam memengaruhi preferensi calon pemilih.

Dikutip dari keterangan Julius Eduardo Foeh, tim sukses Krisdayanti, (Subandi, 2020) beliau menjelaskan bahwa dalam setiap harinya Mimi KD mengunjungi 4-5 rumah yang telah ditentukan tim pemenangan dengan durasi kurang lebih 15 menit per rumah. Ketenarannya sebagai diva papan atas tanah air menyebabkan masyarakat sudah banyak yang mengenal sosok Mimi KD.

Selain itu, Julius menambahkan jika kepopuleran yang dimiliki tak lantas membuatnya menjadi seleb yang elitis, sehingga dana yang dikeluarkan tidak digunakan untuk money politic tetapi lebih difokuskan untuk kampanye lapangan dan branding di sosial media.

Sebagai seseorang yang lahir di Kota Batu, Krisdayanti memiliki keunggulan berbahasa Jawa dengan fasih yang kian memudahkan komunikasinya dengan masyarakat di Dapil pemenangan. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa selain strategi sistematis yang harus diterapkan, positioning juga menjadi aspek krusial yang perlu diperhatikan untuk meraup kemenangan.

Pemasaran politik Krisdayanti juga didukung oleh sejumlah aktor politik lain di instansi Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah Kota Batu. Dewanti Rumpoko sebagai Walikota Batu turut berperan aktif sebagai endorser Krisdayanti. Hal tersebut cukup menarik untuk dibahas karena posisi yang berlaku pada umumnya adalah sebaliknya.

Namun, berkembangnya zaman dan kebutuhan membuat dikotomi ini bisa dibolak-balik sesuai dengan kondisi masing-masing aktor. Dalam konteks itu, Dewanti Rumpoko sah-sah saja untuk mengendorse Krisdayanti karena berangkat dari latar belakang politik yang sama.

Lalu yang tak kalah penting adalah Dewanti Rumpoko telah memiliki popularitas yang hampir menyaingi para endorser selebriti pada umumnya sebab ia telah memiliki posisi sebagai pejabat publik sekaligus orang nomor satu di Kota Batu.

Jadi Masalah atau Lumrah?

Jika kita melihat secara kritis tentang orientasi kedepannya, apakah para aktor politik yang berasal dari kalangan selebritis ini mampu memberikan impact yang besar kepada bangsa ini? Saya berusaha memaparkan beberapa analisis fakta dan dampak yang terjadi.

Pertama, politik selebriti dapat mengakibatkan semakin banyaknya partai politik yang menggunakan strategi instan dalam menjaring kader dan hanya mengedepankan pragmatisme daripada nilai normatif parpol. Melihat fluktuasi kuantitas kandidat dari kalangan selebriti pada pemilu 2019 memungkinkan pemilu kedepannya akan merekrut lebih banyak lagi figur calon dari kalangan artis.

Partai politik hanya melihat dari kaca mata surplus defisit yang akan diperoleh, sementara kaderisasi dalam tubuh partai itu sendiri menjadi terabaikan. Hal tersebut disebabkan oleh popularitas yang telah dimiliki para figur selebriti diinterpretasikan akan mendulang suara lebih banyak dan disinyalir lebih menghemat pengeluaran anggaran untuk menciptakan nama harum di lingkungan masyarakat.

Dampaknya adalah kualitas kader-kader partai menjadi menurun. Padahal, integritas dan kapabilitas calon merupakan poin yang penting untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan nasional.

Kedua, makin maraknya partai politik yang menggantungkan diri pada calon dari kalangan selebritis berpotensi melengserkan personal figur yang sebenarnya berkompeten. Dalam pertarungan suara pada kontes pemilu, aspek yang paling menentukan adalah dukungan dari lingkungan internal maupun eksternal pengusung.

Jika fakta yang terjadi adalah kaum selebriti lebih banyak mendapat dukungan karena telah memiliki modal politik berupa popularitas, maka semakin lama kita akan kehilangan sosok kader yang ideal hanya karena kalah suara pada pemilihan. Adanya realitas yang menunjukkan relatif banyaknya selebriti berhasil memenangkan kontes pemilu, menampar kesadaran kita sebagai warga negara yang hanya mementingkan faktor kenal daripada menilai kualitas secara personal.

Dan ketiga, berkaitan dengan performa kinerja parlemen pemerintahan sebagai lembaga sentral yang memegang fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting, proses merumuskan kebijakan publik merupakan mekanisme yang panjang dan begitu kompleks sehingga memerlukan kemampuan khusus untuk melaksanakannya.

Jika anggota legislatif tidak dibekali dengan pengetahuan, pemahaman, serta pengalaman politik yang mumpuni, apakah proses komprehensif ini mampu mengakomodir kepentingan seluruh elemen masyarakat? Sangat disayangkan jika aspek krusial seperti ini hanya menjadi taruhan perebutan tahta antar partai.

Berikutnya, dampak terbesar yang diakibatkan dari fenomena politik selebriti adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga parlemen yang dilatarbelakangi atas ketidakyakinan pada kompetensi figur selebriti.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, proses perumusan kebijakan publik bukanlah hal yang mudah. Butuh setidaknya pengalaman berorganisasi dan pendidikan di bidang terkait agar dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi parlemen secara maksimal.

Para selebriti yang secara instan berhasil menduduki kursi Senayan kerap kali digagapkan dengan mekanisme kerja legislasi seperti penetapan undang-undang, merancang anggaran, melaksanakan pengawasan, dan lain sebagainya. Tak hanya menyangkut kompetensi secara umum, keterlibatan selebriti dalam anggota legislatif juga perlu memahami substansi ideologi sebagai integral berharga dari demokrasi.

Akan tetapi yang terlihat adalah sebaliknya, para selebriti hanya asal masuk direkrut saja dalam parpol tanpa mengetahui secara pasti haluan ideologinya. Akibatnya, terjadi kegagalan peran yang secara lebih lanjut akan berdampak pada kemunduran fungsi parlemen sebagai lembaga representasi aspirasi masyarakat.

Ketidakpercayaan publik pada akhirnya seringkali ditumpahkan dengan aksi demonstrasi. Mereka menganggap bahwa suaranya sudah tidak didengar. Mereka menilai kinerja parlemen sebagai wakil rakyat tidak mencerminkan marwah demokrasi secara hakiki. Menurut pandangan saya, hal ini juga terjadi karena gagalnya konsolidasi internal DPR sebagai akibat dari menurunnya kualitas kader.

Organisasi dalam pemerintahan merupakan suatu sistem kausalitas. Jika satu saja elemen atau anggotanya bermasalah, maka akan berdampak kepada kinerja secara keseluruhan. Sebagai contoh, kita pasti masih ingat betul demonstrasi yang digelar besar-besaran sebagai reaksi kontra terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law. Hal ini wajar saja terjadi mengingat publik merupakan subjek utama demokrasi yang memiliki hak untuk melegitimasi jalannya proses politik pemerintahan suatu negara.

Trend selebriti terjun dalam dunia politik juga turut memengaruhi citra media sebagai sarana yang digunakan untuk mendongkrak suara. Menurut seorang filsuf bermazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, media massa sebagai bagian dari ruang publik memiliki fungsi untuk menyediakan dan membagikan informasi umum yang sifatnya bisa diperdebatkan dengan memposisikan dirinya sebagai wadah yang independen.

Media massa juga berperan penting dalam membentuk opini publik. Dengan demikian, seharusnya media ini bersifat netral, bebas dari pengaruh golongan politik manapun sehingga dapat mencapai diskursus nasional yang selanjutnya akan melahirkan konsensus publik yang legitim. Ruang publik sebagai bagian fungsional pada ranah politis mempunyai status normatif yang berguna untuk mengartikulasikan kebutuhan masyarakat sipil di dalam suatu otoritas yang disebut negara (Habermas, 2007, p. 106).

Namun pada kenyataannya, dalam menghadapi pekan politik seperti Pemilu banyak ruang-ruang publik termasuk media massa yang beralih fungsi seolah mencondongkan diri pada salah satu kelompok politis tertentu dan bersifat oposisi terhadap kelompok lainnya. 

Pengaruh politis internal owner media tersebut terlihat berafiliasi pada kader tertentu. Terlebih dalam konteks politik selebriti, pencitraan merupakan hal yang cukup melekat pada figur-figur calon. Lagi-lagi kepercayaan publik dibuat runtuh dengan hal yang semacam itu. 

Misalnya saja branding yang dijargonkan Angelina Sondakh bersama Partai Demokrat yang mengusung tema anti korupsi pada kampanye 2009. Akan tetapi pada tahun 2012 dirinya justru menjadi tersangka kasus suap wisma atlet SEA Games yang juga turut menyeret sejumlah nama politisi lainnya.

Inilah sebuah paradoks dari fenomena politik selebriti. Di satu sisi mereka dibenarkan untuk maju dalam kontestasi politik sebab bagian dari jaminan hak asasi manusia terutama dalam Pasal 28D ayat (3) yang berbunyi “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Tetapi pada sisi lain mereka belum cukup kompeten untuk menyelami hiruk pikuknya dunia politik pemerintahan.

Dampak positif yang diberikan tenggelam karena diterjang ombak pengaruh negatif yang dihasilkan. Marwah demokrasi yang pada terminologisnya memiliki makna yang mulia harus digadaikan keberadaannya karena sekelumit persoalan kepentingan jangka pendek. Meritokrasi terancam oligarki.

Bagaimana Solusinya?

Partai politik sebagai institusi yang memegang peran kunci dalam pokok permasalahan ini sudah seharusnya lebih mementingkan faktor kaderisasi yang baik daripada persoalan kalkulasi untung rugi semata. Para selebriti yang akan maju dalam kontes pemilu juga hendaknya telah mempersiapkan bekal dengan sebaik mungkin seperti pengalaman berorganisasi politik dan mengikuti pendidikan politik serta tahapan kaderisasi.

Krisis kepercayaan yang tengah melanda masyarakat mesti disikapi pemerintah secara serius dengan memaksimalkan fungsi-fungsi parlemen sebagai organisasi yang merepresentasikan kehendak rakyat bukan hanya memihak kepentingan jangka pendek dari segelintir oknum termasuk para patron politik. Dan yang terpenting, kita semua harus lebih bijak dalam menggunakan hak pilih.

Faktor kualitas jauh lebih penting daripada sekadar popularitas. Karena bagaimanapun juga, para selebriti tidak dapat melenggang dengan mulus ke Senayan tanpa adanya dukungan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun