Mohon tunggu...
Rofi Lutfiani
Rofi Lutfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

Sapere aude, incipe!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Selebriti: Paradoks Demokrasi Indonesia Pasca Era Reformasi

30 Januari 2021   07:13 Diperbarui: 30 Januari 2021   08:52 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar : kompas.com

Jika anggota legislatif tidak dibekali dengan pengetahuan, pemahaman, serta pengalaman politik yang mumpuni, apakah proses komprehensif ini mampu mengakomodir kepentingan seluruh elemen masyarakat? Sangat disayangkan jika aspek krusial seperti ini hanya menjadi taruhan perebutan tahta antar partai.

Berikutnya, dampak terbesar yang diakibatkan dari fenomena politik selebriti adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga parlemen yang dilatarbelakangi atas ketidakyakinan pada kompetensi figur selebriti.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, proses perumusan kebijakan publik bukanlah hal yang mudah. Butuh setidaknya pengalaman berorganisasi dan pendidikan di bidang terkait agar dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi parlemen secara maksimal.

Para selebriti yang secara instan berhasil menduduki kursi Senayan kerap kali digagapkan dengan mekanisme kerja legislasi seperti penetapan undang-undang, merancang anggaran, melaksanakan pengawasan, dan lain sebagainya. Tak hanya menyangkut kompetensi secara umum, keterlibatan selebriti dalam anggota legislatif juga perlu memahami substansi ideologi sebagai integral berharga dari demokrasi.

Akan tetapi yang terlihat adalah sebaliknya, para selebriti hanya asal masuk direkrut saja dalam parpol tanpa mengetahui secara pasti haluan ideologinya. Akibatnya, terjadi kegagalan peran yang secara lebih lanjut akan berdampak pada kemunduran fungsi parlemen sebagai lembaga representasi aspirasi masyarakat.

Ketidakpercayaan publik pada akhirnya seringkali ditumpahkan dengan aksi demonstrasi. Mereka menganggap bahwa suaranya sudah tidak didengar. Mereka menilai kinerja parlemen sebagai wakil rakyat tidak mencerminkan marwah demokrasi secara hakiki. Menurut pandangan saya, hal ini juga terjadi karena gagalnya konsolidasi internal DPR sebagai akibat dari menurunnya kualitas kader.

Organisasi dalam pemerintahan merupakan suatu sistem kausalitas. Jika satu saja elemen atau anggotanya bermasalah, maka akan berdampak kepada kinerja secara keseluruhan. Sebagai contoh, kita pasti masih ingat betul demonstrasi yang digelar besar-besaran sebagai reaksi kontra terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law. Hal ini wajar saja terjadi mengingat publik merupakan subjek utama demokrasi yang memiliki hak untuk melegitimasi jalannya proses politik pemerintahan suatu negara.

Trend selebriti terjun dalam dunia politik juga turut memengaruhi citra media sebagai sarana yang digunakan untuk mendongkrak suara. Menurut seorang filsuf bermazhab Frankfurt, Jurgen Habermas, media massa sebagai bagian dari ruang publik memiliki fungsi untuk menyediakan dan membagikan informasi umum yang sifatnya bisa diperdebatkan dengan memposisikan dirinya sebagai wadah yang independen.

Media massa juga berperan penting dalam membentuk opini publik. Dengan demikian, seharusnya media ini bersifat netral, bebas dari pengaruh golongan politik manapun sehingga dapat mencapai diskursus nasional yang selanjutnya akan melahirkan konsensus publik yang legitim. Ruang publik sebagai bagian fungsional pada ranah politis mempunyai status normatif yang berguna untuk mengartikulasikan kebutuhan masyarakat sipil di dalam suatu otoritas yang disebut negara (Habermas, 2007, p. 106).

Namun pada kenyataannya, dalam menghadapi pekan politik seperti Pemilu banyak ruang-ruang publik termasuk media massa yang beralih fungsi seolah mencondongkan diri pada salah satu kelompok politis tertentu dan bersifat oposisi terhadap kelompok lainnya. 

Pengaruh politis internal owner media tersebut terlihat berafiliasi pada kader tertentu. Terlebih dalam konteks politik selebriti, pencitraan merupakan hal yang cukup melekat pada figur-figur calon. Lagi-lagi kepercayaan publik dibuat runtuh dengan hal yang semacam itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun