Mohon tunggu...
Rofi Lutfiani
Rofi Lutfiani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

Sapere aude, incipe!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Selebriti: Paradoks Demokrasi Indonesia Pasca Era Reformasi

30 Januari 2021   07:13 Diperbarui: 30 Januari 2021   08:52 816
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Sumber gambar : kompas.com

Pemasaran politik Krisdayanti juga didukung oleh sejumlah aktor politik lain di instansi Pemerintah Desa dan Pemerintah Daerah Kota Batu. Dewanti Rumpoko sebagai Walikota Batu turut berperan aktif sebagai endorser Krisdayanti. Hal tersebut cukup menarik untuk dibahas karena posisi yang berlaku pada umumnya adalah sebaliknya.

Namun, berkembangnya zaman dan kebutuhan membuat dikotomi ini bisa dibolak-balik sesuai dengan kondisi masing-masing aktor. Dalam konteks itu, Dewanti Rumpoko sah-sah saja untuk mengendorse Krisdayanti karena berangkat dari latar belakang politik yang sama.

Lalu yang tak kalah penting adalah Dewanti Rumpoko telah memiliki popularitas yang hampir menyaingi para endorser selebriti pada umumnya sebab ia telah memiliki posisi sebagai pejabat publik sekaligus orang nomor satu di Kota Batu.

Jadi Masalah atau Lumrah?

Jika kita melihat secara kritis tentang orientasi kedepannya, apakah para aktor politik yang berasal dari kalangan selebritis ini mampu memberikan impact yang besar kepada bangsa ini? Saya berusaha memaparkan beberapa analisis fakta dan dampak yang terjadi.

Pertama, politik selebriti dapat mengakibatkan semakin banyaknya partai politik yang menggunakan strategi instan dalam menjaring kader dan hanya mengedepankan pragmatisme daripada nilai normatif parpol. Melihat fluktuasi kuantitas kandidat dari kalangan selebriti pada pemilu 2019 memungkinkan pemilu kedepannya akan merekrut lebih banyak lagi figur calon dari kalangan artis.

Partai politik hanya melihat dari kaca mata surplus defisit yang akan diperoleh, sementara kaderisasi dalam tubuh partai itu sendiri menjadi terabaikan. Hal tersebut disebabkan oleh popularitas yang telah dimiliki para figur selebriti diinterpretasikan akan mendulang suara lebih banyak dan disinyalir lebih menghemat pengeluaran anggaran untuk menciptakan nama harum di lingkungan masyarakat.

Dampaknya adalah kualitas kader-kader partai menjadi menurun. Padahal, integritas dan kapabilitas calon merupakan poin yang penting untuk menjaga kontinuitas kepemimpinan nasional.

Kedua, makin maraknya partai politik yang menggantungkan diri pada calon dari kalangan selebritis berpotensi melengserkan personal figur yang sebenarnya berkompeten. Dalam pertarungan suara pada kontes pemilu, aspek yang paling menentukan adalah dukungan dari lingkungan internal maupun eksternal pengusung.

Jika fakta yang terjadi adalah kaum selebriti lebih banyak mendapat dukungan karena telah memiliki modal politik berupa popularitas, maka semakin lama kita akan kehilangan sosok kader yang ideal hanya karena kalah suara pada pemilihan. Adanya realitas yang menunjukkan relatif banyaknya selebriti berhasil memenangkan kontes pemilu, menampar kesadaran kita sebagai warga negara yang hanya mementingkan faktor kenal daripada menilai kualitas secara personal.

Dan ketiga, berkaitan dengan performa kinerja parlemen pemerintahan sebagai lembaga sentral yang memegang fungsi legislasi, pengawasan, dan budgeting, proses merumuskan kebijakan publik merupakan mekanisme yang panjang dan begitu kompleks sehingga memerlukan kemampuan khusus untuk melaksanakannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun