Mohon tunggu...
Risma Achmad
Risma Achmad Mohon Tunggu... Freelancer

Guru ekonomi yang jatuh cinta pada sastra. Buku adalah candu saya, dan menulis adalah cara saya memaknai dunia. Melalui tulisan, saya berbagi perspektif, merajut pengalaman, dan merayakan keajaiban kata-kata. Penulis dua buku antologi cerpen: "Di Balik Sebuah Kehilangan" dan "Warna-Warni Cerita di Sore Hari". Menulis bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Terakhir, Saksi Cinta yang Tak Pernah Padam

14 Oktober 2025   11:39 Diperbarui: 14 Oktober 2025   11:39 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ini yang terakhir ya, Cangkir kecil," bisiknya sangat pelan. "Setelah ini, kamu harus ingat rasanya. Suatu hari nanti, kalau Sari atau Rara minta kopi, kamu harus mengingatkan mereka bagaimana Ibu membuatnya. Bukan dengan takaran, tapi dengan hati."

***

Pak Mat turun dari kamar, masih mengantuk. Dia mengangkatku tanpa tahu bahwa itu adalah terakhir kalinya dia akan merasakan kopi buatan istri tercintanya.

"Rasanya beda ya, hari ini," katanya.

Ibu tersenyum, senyum yang sangat indah tapi menyimpan kepahitan yang tak terungkapkan. "Mungkin karena Mama sedang bahagia hari ini."

Pak Mat menghabiskan kopiku sampai tetes terakhir, mencium pipi Ibu sebelum berangkat kerja. "Hati-hati di jalan, Pak. Jalanan licin karena embun," kata Ibu, kata-kata terakhirnya pada suaminya.

Setelah Pak Mat pergi, Ibu meletakkanku di rak dengan sangat lembut, seperti sedang meletakkan bayi di tempat tidur, sebelum kembali ke kamarnya dan menutup pintu.

Rara, yang masih SMP kelas dua, hendak pamit ke sekolah. Tapi ketika ia mengintip ke kamar Ibu untuk berpamitan, ia mendapati Ibu terbaring dengan tenang, tangan terlipat rapi di atas dada, mata terpejam seperti sedang bermimpi indah.

Ibu sudah pergi dengan tenang, seperti seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna.

Suara jeritan Rara masih bergema di rumah ini: "Kak Sari! Ibu... Ibu tidak bangun! Ibu dingin!"

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun