"Ini yang terakhir ya, Cangkir kecil," bisiknya sangat pelan. "Setelah ini, kamu harus ingat rasanya. Suatu hari nanti, kalau Sari atau Rara minta kopi, kamu harus mengingatkan mereka bagaimana Ibu membuatnya. Bukan dengan takaran, tapi dengan hati."
***
Pak Mat turun dari kamar, masih mengantuk. Dia mengangkatku tanpa tahu bahwa itu adalah terakhir kalinya dia akan merasakan kopi buatan istri tercintanya.
"Rasanya beda ya, hari ini," katanya.
Ibu tersenyum, senyum yang sangat indah tapi menyimpan kepahitan yang tak terungkapkan. "Mungkin karena Mama sedang bahagia hari ini."
Pak Mat menghabiskan kopiku sampai tetes terakhir, mencium pipi Ibu sebelum berangkat kerja. "Hati-hati di jalan, Pak. Jalanan licin karena embun," kata Ibu, kata-kata terakhirnya pada suaminya.
Setelah Pak Mat pergi, Ibu meletakkanku di rak dengan sangat lembut, seperti sedang meletakkan bayi di tempat tidur, sebelum kembali ke kamarnya dan menutup pintu.
Rara, yang masih SMP kelas dua, hendak pamit ke sekolah. Tapi ketika ia mengintip ke kamar Ibu untuk berpamitan, ia mendapati Ibu terbaring dengan tenang, tangan terlipat rapi di atas dada, mata terpejam seperti sedang bermimpi indah.
Ibu sudah pergi dengan tenang, seperti seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna.
Suara jeritan Rara masih bergema di rumah ini: "Kak Sari! Ibu... Ibu tidak bangun! Ibu dingin!"
***