Dari hari itu, aku tidak pernah lagi digunakan. Sari mencoba beberapa kali, tapi setiap kali dia mencicipinya, air mata langsung mengalir. "Rasanya tidak sama," katanya dengan suara serak. "Tidak akan pernah sama."
Dan memang tidak akan pernah sama. Karena rahasia kopi bu Rat bukan terletak pada resep, tapi pada cinta yang tak terhingga yang dia masukkan ke dalam setiap tetesan.
Cinta seorang ibu yang rela menyembunyikan sakit fisiknya agar keluarganya tidak khawatir. Cinta yang rela memberikan yang terbaik hingga napas terakhir.
Hari ini, tanggal 9 Mei, Sari datang ke dapur dengan mata yang sembab. Hari peringatan sebelas tahun kepergian Ibu. Dia mengangkatku dengan hati-hati, seperti memegang barang antik yang sangat berharga.
"Cangkir kecil," bisiknya, "aku rindu Ibu. Sangat rindu."
***
Dan untuk pertama kalinya dalam sebelas tahun, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada bisikan halus yang mengalir melalui keramikku:
"Jangan sedih, Sayang. Ibu ada di sini. Ibu ada setiap kali kamu menyeduh kopi dengan cinta. Ibu ada setiap kali kamu memeluk Rara saat dia menangis. Ibu ada setiap kali kamu menyayangi Ayah seperti Ibu dulu menyayanginya."
Sari terdiam, seolah mendengar sesuatu. Lalu dia tersenyum, persis seperti senyum Ibu di pagi terakhir itu.
"Baiklah," katanya dengan suara yang lebih tenang. "Hari ini aku akan belajar membuat kopi lagi. Bukan untuk menyamai Ibu, tapi untuk melanjutkan cinta yang Ibu tinggalkan."
Dia mengisiku dengan air, menuangkan bubuk kopi, lalu menambahkan satu sendok gula. Tapi yang berbeda, kali ini dia juga menuangkan sesuatu yang tidak kasat mata---cinta yang sama seperti yang dulu Ibu lakukan.