Tiga bulan sebelum Ibu meninggal, Ibu sering bangun tengah malam karena sesak napas. Dia akan duduk di dapur, memegang dadanya yang sesak, sementara tangannya yang gemetar berusaha menyeduh kopi herbal untuk meredakan sakit.
"Ya Allah," bisiknya suatu malam, "berikanlah aku waktu sedikit lagi. Sampai Sari lulus kuliah, sampai Rara tidak lagi takut tidur sendiri. Jangan ambil aku dulu, ya Allah."
Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika Ibu berbicara padaku, sebuah cangkir, seolah aku adalah sahabat yang bisa menyimpan rahasianya.
"Cangkir kecil," katanya sambil membelai pinggiranku, "nanti kalau Ibu sudah tidak ada, jaga mereka ya. Jaga Pak Mat agar tidak lupa makan. Jaga Sari agar tidak terlalu sedih. Jaga Rara agar tetap percaya bahwa Ibu akan selalu ada."
Air matanya jatuh ke dalam diriku, dan aku merasakan betapa asinnya penyesalan seorang ibu.
***
Ada satu rahasia yang bahkan Ibu sendiri tidak menyadarinya. Setiap kali dia menyeduh kopi, dia menuangkan sebagian jiwanya ke dalam setiap tegukan.
Itulah mengapa kopi buatan bu Rat selalu berbeda. Bukan karena takaran atau teknik, tapi karena dia memasukkan cinta yang begitu murni hingga mengubah rasa pahit menjadi hangat, mengubah minuman biasa menjadi pelukan yang bisa diminum.
Aku ingat pagi terakhir itu dengan sangat jelas. Tanggal 9 Mei, sebelas tahun silam. Hari yang membelah hidup keluarga ini menjadi dua: sebelum dan sesudah.
Tangannya yang pucat dan gemetar masih setia mengangkatku, mengisiku dengan kopi hitam yang lebih pekat dari biasanya.
Kehangatan yang dimasukkan Ibu ke dalam kopi terasa lebih intens, seolah dia sedang memasukkan seluruh sisa cintanya untuk terakhir kalinya.