Mohon tunggu...
Risma Achmad
Risma Achmad Mohon Tunggu... Freelancer

Guru ekonomi yang jatuh cinta pada sastra. Buku adalah candu saya, dan menulis adalah cara saya memaknai dunia. Melalui tulisan, saya berbagi perspektif, merajut pengalaman, dan merayakan keajaiban kata-kata. Penulis dua buku antologi cerpen: "Di Balik Sebuah Kehilangan" dan "Warna-Warni Cerita di Sore Hari". Menulis bukan untuk menjadi sempurna, tapi untuk tetap hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Terakhir, Saksi Cinta yang Tak Pernah Padam

14 Oktober 2025   11:39 Diperbarui: 14 Oktober 2025   11:39 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Secangkir kopi (Freepik)

Ada yang mengatakan bahwa cinta sejati bisa dirasakan dalam hal-hal sederhana: secangkir kopi yang diseduh dengan hati, pelukan hangat di pagi buta, atau bahkan keheningan yang menyimpan ribuan kata. Dan kadang, cinta terbesar justru tersembunyi dalam pengorbanan yang tak pernah diucapkan.

Aku adalah cangkir keramik putih dengan motif bunga kecil di pinggirnya. Sudah dua puluh tiga tahun aku menjadi bagian dari ritual pagi keluarga ini.

Setiap subuh, tangan bu Rat yang hangat akan mengangkatku dari rak, membilasku dengan air dingin, lalu mengisiku dengan kopi hitam pekat, satu sendok gula. Persis seperti yang Pak Mat sukai sejak hari pertama mereka menikah.

Aku tahu semua rahasia keluarga ini. Aku merasakan getaran halus ketika Bu Rat menangis diam-diam sambil menyeduh kopi di pagi-pagi buta, setelah mendengar dokter mengatakan bahwa jantungnya sudah tidak bisa diperbaiki lagi.

Aku merasakan dinginnya air mata yang jatuh ke dalam kopimu, Pak Mat, membuat rasa pahit kopi bercampur dengan kepahitan hidup yang tak pernah kau ketahui.

Dingin Bajawa selalu menusuk tulang di pagi buta, tapi dingin di dada Bu Rat jauh lebih mencekam. Kabut tipis menyelimuti rumah-rumah di bawah kaki Gunung Inerie.

Tapi aku tahu, kabut yang sesungguhnya adalah keheningan Bu Rat tentang penyakitnya, sebuah rahasia yang dibungkusnya rapat-rapat agar tidak ada yang terluka.

***

Sebelas tahun telah berlalu sejak pagi terakhir itu. Kini aku berada di rak yang sama, tapi tidak pernah lagi disentuh. Karena tidak ada yang bisa menyeduh kopi seperti bu Rat, bukan hanya soal takaran, tapi soal cinta yang diaduk bersamaan dengan sendok kayu itu.

Sari, anak sulung yang kini berusia tiga puluh lima tahun, sering menatapku dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak tahu bahwa aku menyimpan rahasia terbesar Ibu, rahasia yang bahkan tidak pernah dia ceritakan pada suaminya sendiri.

Tiga bulan sebelum Ibu meninggal, Ibu sering bangun tengah malam karena sesak napas. Dia akan duduk di dapur, memegang dadanya yang sesak, sementara tangannya yang gemetar berusaha menyeduh kopi herbal untuk meredakan sakit.

"Ya Allah," bisiknya suatu malam, "berikanlah aku waktu sedikit lagi. Sampai Sari lulus kuliah, sampai Rara tidak lagi takut tidur sendiri. Jangan ambil aku dulu, ya Allah."

Tapi yang paling menyakitkan adalah ketika Ibu berbicara padaku, sebuah cangkir, seolah aku adalah sahabat yang bisa menyimpan rahasianya.

"Cangkir kecil," katanya sambil membelai pinggiranku, "nanti kalau Ibu sudah tidak ada, jaga mereka ya. Jaga Pak Mat agar tidak lupa makan. Jaga Sari agar tidak terlalu sedih. Jaga Rara agar tetap percaya bahwa Ibu akan selalu ada."

Air matanya jatuh ke dalam diriku, dan aku merasakan betapa asinnya penyesalan seorang ibu.

***

Ada satu rahasia yang bahkan Ibu sendiri tidak menyadarinya. Setiap kali dia menyeduh kopi, dia menuangkan sebagian jiwanya ke dalam setiap tegukan.

Itulah mengapa kopi buatan bu Rat selalu berbeda. Bukan karena takaran atau teknik, tapi karena dia memasukkan cinta yang begitu murni hingga mengubah rasa pahit menjadi hangat, mengubah minuman biasa menjadi pelukan yang bisa diminum.

Aku ingat pagi terakhir itu dengan sangat jelas. Tanggal 9 Mei, sebelas tahun silam. Hari yang membelah hidup keluarga ini menjadi dua: sebelum dan sesudah.

Tangannya yang pucat dan gemetar masih setia mengangkatku, mengisiku dengan kopi hitam yang lebih pekat dari biasanya.

Kehangatan yang dimasukkan Ibu ke dalam kopi terasa lebih intens, seolah dia sedang memasukkan seluruh sisa cintanya untuk terakhir kalinya.

"Ini yang terakhir ya, Cangkir kecil," bisiknya sangat pelan. "Setelah ini, kamu harus ingat rasanya. Suatu hari nanti, kalau Sari atau Rara minta kopi, kamu harus mengingatkan mereka bagaimana Ibu membuatnya. Bukan dengan takaran, tapi dengan hati."

***

Pak Mat turun dari kamar, masih mengantuk. Dia mengangkatku tanpa tahu bahwa itu adalah terakhir kalinya dia akan merasakan kopi buatan istri tercintanya.

"Rasanya beda ya, hari ini," katanya.

Ibu tersenyum, senyum yang sangat indah tapi menyimpan kepahitan yang tak terungkapkan. "Mungkin karena Mama sedang bahagia hari ini."

Pak Mat menghabiskan kopiku sampai tetes terakhir, mencium pipi Ibu sebelum berangkat kerja. "Hati-hati di jalan, Pak. Jalanan licin karena embun," kata Ibu, kata-kata terakhirnya pada suaminya.

Setelah Pak Mat pergi, Ibu meletakkanku di rak dengan sangat lembut, seperti sedang meletakkan bayi di tempat tidur, sebelum kembali ke kamarnya dan menutup pintu.

Rara, yang masih SMP kelas dua, hendak pamit ke sekolah. Tapi ketika ia mengintip ke kamar Ibu untuk berpamitan, ia mendapati Ibu terbaring dengan tenang, tangan terlipat rapi di atas dada, mata terpejam seperti sedang bermimpi indah.

Ibu sudah pergi dengan tenang, seperti seseorang yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan sempurna.

Suara jeritan Rara masih bergema di rumah ini: "Kak Sari! Ibu... Ibu tidak bangun! Ibu dingin!"

***

Dari hari itu, aku tidak pernah lagi digunakan. Sari mencoba beberapa kali, tapi setiap kali dia mencicipinya, air mata langsung mengalir. "Rasanya tidak sama," katanya dengan suara serak. "Tidak akan pernah sama."

Dan memang tidak akan pernah sama. Karena rahasia kopi bu Rat bukan terletak pada resep, tapi pada cinta yang tak terhingga yang dia masukkan ke dalam setiap tetesan.

Cinta seorang ibu yang rela menyembunyikan sakit fisiknya agar keluarganya tidak khawatir. Cinta yang rela memberikan yang terbaik hingga napas terakhir.

Hari ini, tanggal 9 Mei, Sari datang ke dapur dengan mata yang sembab. Hari peringatan sebelas tahun kepergian Ibu. Dia mengangkatku dengan hati-hati, seperti memegang barang antik yang sangat berharga.

"Cangkir kecil," bisiknya, "aku rindu Ibu. Sangat rindu."

***

Dan untuk pertama kalinya dalam sebelas tahun, aku merasakan sesuatu yang aneh. Seolah ada bisikan halus yang mengalir melalui keramikku:

"Jangan sedih, Sayang. Ibu ada di sini. Ibu ada setiap kali kamu menyeduh kopi dengan cinta. Ibu ada setiap kali kamu memeluk Rara saat dia menangis. Ibu ada setiap kali kamu menyayangi Ayah seperti Ibu dulu menyayanginya."

Sari terdiam, seolah mendengar sesuatu. Lalu dia tersenyum, persis seperti senyum Ibu di pagi terakhir itu.

"Baiklah," katanya dengan suara yang lebih tenang. "Hari ini aku akan belajar membuat kopi lagi. Bukan untuk menyamai Ibu, tapi untuk melanjutkan cinta yang Ibu tinggalkan."

Dia mengisiku dengan air, menuangkan bubuk kopi, lalu menambahkan satu sendok gula. Tapi yang berbeda, kali ini dia juga menuangkan sesuatu yang tidak kasat mata---cinta yang sama seperti yang dulu Ibu lakukan.

Dan ketika Pak Mat mencicipi kopi itu, untuk pertama kalinya dalam sebelas tahun, dia tersenyum. "Rasanya hampir sama," katanya dengan mata berkaca-kaca. "Hampir seperti kopi Mama."

Tidak persis sama, memang. Tapi aku tahu, rahasia kopi bukan terletak pada kesamaan rasa, tapi pada cinta yang dimasukkan ke dalam setiap tetesan.

***

Aku adalah cangkir yang telah menyaksikan tiga generasi cinta. Cinta Ibu yang rela menderita dalam diam demi kebahagiaan keluarga. Cinta Sari yang belajar melanjutkan warisan ibu meski hatinya masih terluka.

Dan suatu hari nanti, aku akan menyaksikan cinta generasi selanjutnya, ketika anak-anak Sari belajar menyeduh kopi dengan cinta yang sama.

Karena itulah rahasia sesungguhnya dari kopi terakhir Ibu. Bukan bahwa itu benar-benar terakhir, tapi bahwa cinta yang dimasukkan Ibu ke dalam kopi itu akan terus berlanjut, diwariskan dari tangan ke tangan, dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.

Cinta seorang ibu memang seperti aroma kopi, menyebar ke seluruh ruangan, menghangatkan jiwa, dan tidak pernah benar-benar hilang meski cangkirnya sudah kosong.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun