Mohon tunggu...
Risky HidayatSiregar
Risky HidayatSiregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Jangan lihat siapa yang mengatakan, lihat apa yang dikatakan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan yang Memeluk Buku

30 Juli 2022   23:24 Diperbarui: 30 Juli 2022   23:33 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Perempuan Yang Memeluk Buku

"Kok bisa sih, nilaiku bisa begini" Aku menggerutu sendiri melihat kertas ujian yang baru dibagikan.

"Ah, sebel deh" usahaku selama ini terbayar dengan nilai yang pas-pasan, kok bisa sih. Aku begadang tiap malam, Latihan soal tiap jam, tapi kok bisa gini.

Dosen membagikan kertas ujian tadi pagi, aku sangat tenang saat itu, karena aku yakin nilaiku pasti bagus. Toh, aku sudah belajar mati matian. Aku kembali mengingat kata-kata guru SMA ku dulu "Usaha Tidak Pernah Mengkhianati  Hasil". Kata kata itu selalu kupegang semenjak aku lulus SMA, melanjutkan Pendidikan ku di salah satu perguruan tinggi di negeri Jawa.

Sudah jadi kebiasaanku ketika selesai kuliah untuk menyempatkan waktu di cafe dekat kampus, sudah sebulan lebih aku melakukannya, sekedar menenangkan pikiran sambil ditemani secangkir kopi, atau membaca buku yang baru kubeli di toko buku dekat kampus juga. Aku suka membaca novel ringan terutama karya dari Tere Liye, novelnya lengkap, banyak pelajaran yang bisa diambil mulai dari pelajaran hidup, cinta, pekerjaan, bahkan novel aksi yang membuat hati deg-degan pun ada.

"Sudahlah, mungkin usahaku belum maksimal" Aku mencoba menghibur diri, daripada tambah sakit kepala mending tidak usah terlalu dipikirkan, kedepannya pasti lebih baik.

 "Seharusnya kau bersyukur, lihat punyaku" Seorang lelaki datang ke mejaku memperlihatkan kertas ujiannya yang memang nilainya lebih rendah dariku. Bahkan, nilainya ditulis dengan tinta merah, banyak coretan pula.

Setelah melihat kertas ujiannya, aku mendongakkan kepalaku, sempurna mataku menatap wajahnya, aku merasa tidak asing dengan mukanya. Aku sadar dia salah satu teman kelasku, bisa dibilang aku anak yang lebih suka sendiri, temanku tidak terlalu banyak, aku tidak banyak mengenal, bahkan tahu Nama teman kelas juga aku belum hapal semua.

"WOY" Dia melantangkan suaranya, sambil melambaikan tangannya tepat di depan wajahku.

 Aku kembali tersadar, sejenak aku serius menatap wajahnya hingga lupa dengan sekitar.

 "Perkenalkan namaku Beni" dia mengulurkan tangannya, menawarkan sebuah jabat tangan.

 "Eh iya, aku mawar" Membalas menjabat tangannya.

 "Seharusnya kau bersyukur, nilaimu tidak jelek-jelek amat, bahkan sudah di atas standar, lihat punyaku tinta merah hampir sempurna memenuhi kertas ku" Dia memberitahu.

"Kalau mau ceramah, tidak usah kesini" aku membalas dengan nada yang malas. Jujur aku sudah berusaha membujuk hatiku agar tidak kecewa pada diri sendiri, eh datang entah siapa menggagalkan usahaku.

 "Aku tidak ceramah, aku hanya memberitahumu sekedar mengingatkan untuk bersyukur" dengan nada yang pelan, selang kemudian dia duduk tidak jauh dari tempatku duduk.

Aku memilih untuk diam tidak menjawab, hatiku sebal, saat ini aku ingin sendiri menenangkan hatiku yang sedang tidak enak.

"Nenekku pernah berkata dan aku selalu mengingatnya dan memegang perkataanya, dia berkata kalau urusan dunia lihatlah yang dibawah dan jangan lihat yang diatas, itu akan membuatmu tidak luput dari kata syukur" dia kembali berkata dengan nada yang lebih pelan lagi, menjelaskan setiap kata-katanya.

Dia kenapa si, datang datang ceramah, sudah seperti ustadz saja, neneknya dia bawa bawa pula. Aku makin sebal, namun sejenak memikirkan kata-katanya.

 "Iya aku bersyukur" aku mengakhiri percakapan, aku memilih untuk pulang, menenangkan diri di kamar kos jauh lebih tenang. Sendiri.

Sesampai di kos, aku bersih-bersih dan melanjutkan membaca novel yang belum selesai kubaca. Aku kembali mengingatnya, bukan mengingat dia, aku masih sebal. Aku mengingat perkataan neneknya, membuatku sedikit tertampar. Memang nilaiku diatas standar, bahkan masih lebih tinggi daripada banyak temanku, namun yang sesalkan adalah usahaku yang kupikir sudah maksimal.

Keesokan harinya berjalan dengan baik, pelajaran hari ini juga kupahami dengan mudah. Setelah perkuliahan yang sedikit melelahkan aku memilih bersantai di cafe tempat ku biasa.

"Bang kopi hitam satu, ga pake gula, pokoknya harus lebih pahit dari kata-kata dia" aku memesan kopi yang biasa kupesan sambil bercanda dengan abang penjaga caf.

"Sip neng" abang itu menjawab.

 Aku menuju kursi yang berada di ujung paling belakang caf, lebih tenang disana, pikirku. Aku mengeluarkan novel yang belum kubaca kemarin dan lanjut serius membaca.

 "Ini neng kopinya, silahkan dinikmati" setelah lima menit abang itu datang menyuguhkan kopi pesananku.

"Makasih bang"

Setelah satu jam membaca, novel ku pun selesai, puas rasanya. Aku menggerakkan badan yang sudah kaku sejam membaca. Aku memicingkan mata, melihat lebih jelas. Itu lelaki yang kemarin datang menngangguku, aku melihatnya sedang sibuk dengan laptopnya. Tiba tiba dia membalas melihat kearahku, buru buru aku memalingkan pandanganku.

 Dengan salah tingkah, aku membuka novel yang sudah kubaca tadi, pura pura membaca. Dia kenapa disini.

Aku sesekali mencuri melihat dia, tiba tiba dia datang kearahku.

"Ini tempat umum mba, semua orang boleh dan bisa kesini" dia berdiri tepat di depanku.

Aku menunduk heran, dia kok tahu, dia pembaca pikiran kah? Kataku yang tertunduk heran. Aku mengangkat kepalaku dan melihatnya mengambil novelku.

"novel yang bagus, aku sudah membacanya, ceritanya seru tidak membosankan" Dia berkata sambil membuka halaman perhalaman novelku.

 "Aku tidak bertanya" Aku menjawab dengan nada yang masih sema dengan kemarin, sebal.

 "Cuman memberitahu, kalau kau mau cerita atau rekomendasi novel kau bisa bertanya padaku"

 Belum aku menjawab, dia sudah kembali ke tempatnya, kembali sibuk dengan laptopnya. Dan aku memilih untuk pulang, aku sempat melihatnya ketika berjalan melewatinya, dia membalas tatapanku, aku pun memalingkan mataku kembali. Dia siapa.

Sesampai di kos, aku merebahkan badan dan kembali mengingatnya, apa iya aku harus bertanya padanya tentang novel yang enak dibaca, ngga usah deh, malas.

Hari-hari selanjutnya aku masih ke caf tempat andalanku istirahat dengan membaca novel atau kerja tugas. Dia juga ternyata sering ke caf itu, namun kok sebulan lalu aku tidak pernah melihatnya. Dia juga sering datang ke tempatku bicara sendiri, cerita tentang novel yang dia rekomendasikan. 

Aku hanya membalas dengan jawaban pendek. Namun anehnya seminggu berikutnya, aku sudah tidak sebal ketika dia datang, justru aku menunggu dia datang ke tempatku cerita tentang novel yang harus ku baca.

Saat itu aku tidak berpikir lain, hanya sekedar bertanya tentang beberapa novel yang harus kubaca duluan. Namun seiring waktu, pembahasan kami juga bertambah, kami cerita tentang kuliah, musik, film. Seiring hari kami pun berteman, kami janjian untuk datang ke caf yang sama, duduk di tempat yang sama.

Dia juga sering membuatku tertawa, dia lelaki yang humoris, dia juga masih sering menasihatiku sambil membawa nama neneknya. Entah neneknya pernah berkata atau itu cuman karangannya saja.

Setiap malam di kos, aku memikirkannya, jarang aku tertawa lepas semenjak aku meninggalkan kota asalku, bertemu dengan orang  baru. teman-teman ku disini hanya datang mengajak untuk mengerjakan tugas bersama, walau mereka juga jadi tempatku cerita disaat kesendirian mengelilingiku.

"Sebentar jam 4, di  tempat sama" dia menghampiriku ketika kelas sudah selesai.

"Sip" aku menjawab pendek, bukan karena cuek namun takut teman teman berpikir kami yang aneh aneh.

Sebelum jam 4 aku sudah duduk ditempat andalanku sembari menunggunya datang, aku menatap sekitar ternyata caf ini ramai, aku sering datang kesini namun tidak pernah menyadari suasana caf ini, dia juga berkata bahwa caf ini sudah menjadi tempat andalannya sejak SMA, sekedar nongkrong atau kerja tugas.

Selang beberapa menit dia datang sambil membawa dua novel yang baru kulihat. "Nih, dua novel andalanku, kau baca saja, tidak usah dengar aku cerita" dia menawarkan dua novel nya.

 "Hahahahaha, terimakasih nanti kubaca di kos"

   Dia kemudian duduk dan menatapku lama, aku langsung salah tingkah memukul wajahnya dengan buku.

  "Woy, sakit, lu kenapa" dia mengaduh kesakitan memegang hidungnya yang sedikit merah karenaku.

"Eh maaf, habis lu ngapain lihat gua kayak gitu, naksir ya lu" Aku menjawab bercanda.

 Dia diam mendengar ucapan ku barusan, apakah aku salah ngomong.

"Kalau iya kenapa?" dia menjawab dengan nada mantap.

 "Hah, lu jangan ngide" sontak aku kaget mendengar ucapannya barusan.

 "War, aku laki laki, wajar jika menaruh perasaan padamu" dia menjawab sambil menunduk.

Kata kata itu mengagetkanku, buru buru aku mengambil tas ku dan langsung pulang ke kos, dia hanya melihat kepergiaanku.

Di kos aku tidak bisa tidur, memikirkan kata katanya di caf tadi sore, dia serius atau bercanda ya? Tapi nada bicaranya sepertinya dia serius. Pikirku.

Jujur aku juga sedikit memiliki rasa terhadapnya, dia laki-laki yang membuatku tertawa untuk pertama kalinya semenjak aku menginjakkan kaki di kota ini.

Di kelas aku melihatnya biasa saja, dia sesekali mencuri pandang melihatku. Aku sadar namun memilih tidak peduli, aku masih ragu dengan ucapannya. Selesai kelas, dia tidak menghampiriku, tidak seperti kemarin kemarin yang selalu mengajakku ke caf.

 Aku mencoba bersikap tidak peduli melihat keanehannya, aku memasukkan buku di tas dan kemudian keluar dari kelas. Nah, disini lah keanehan itu terjadi, keluar dari kelas dia menungguku di samping tangga turun, aku melambatkan langkahku berpikir mungkin dia ingin mengatakan sesuatu. Namun tidak, aku melanjutkan langkahku turun tangga, aku menyadari dia mengikutiku.

 Dia terus saja mengikutiku, aku mulai takut, dia kenapa, aku memilih jalan menuju caf berpikir disana kan banyak orang, jadi dia tidak bisa melakukan yang aneh-aneh. Setengah perjalanan hatiku berkata lain seperti membisikkan sesuatu, aku menghentikan langkahku sambil berkata keras.

"Lelaki sejati itu jalan disamping perempuan, memastikan dia baik-baik saja, bukan berjalan di belakangnya seakan penguntit" Aku teriak keras, beberapa orang melihat kami, namun tidak peduli dan melanjutkan kesibukannya.

Dia diam sebentar mendengarku, kemudian berjalan ke sampingku lalu berkata dengan nada pelan.

"Aku hanya lelaki yang datang di saat mu terlihat marah, mencoba menenangkanmu, namun setiap malam aku memikirkan dirimu, seharusnya aku memarahimu karena sudah membuatku tidak bisa berhenti memikirkanmu"

Aku diam mendengarkan.

"Aku ingin mengajakmu ke tempat dimana seisi kota akan terlihat jelas" Dia mengajak.

"Kemana?"

 "Sudah ikut saja, aku tidak membawamu kemana-mana, bahkan menyakitimu saja aku tidak akan" dia memantapkan tawarannya.

Belum aku mengiyakan perkataanya, dia sudah lari ke parkiran mengambil motornya dan menghampiriku. "Naik"

 "Eh kita kemana" jawabku

 "Sudah nanti disana kau tidak akan menyesal"

Aku pun naik, tidak ada lagi rasa aneh di hatiku, mantap sudah aku menerimanya, aku memang kagum dengan sifatnya, aku tenggelam dengan setiap kata yang dikeluarkannya. Cinta.

Di motor, dia bercerita tentang setiap yang kami lewati, aku memang tidak pernah keluar selain ke kampus, caf, kos, dan toko swalayan dekat kampus.

"Itu Namanya pak tide, dia penjual bakso di situ sudah lama sekali, dia langgananku ketika masih SMA"

Aku melihat orang yang disebutnya, aku tidak tahu apakah dia hanya mengarang atau betulan. Setelah sekitar setengah jam kami pun sampai di tempat yang dimaksudnya. Aku melihat papan kayu bertuliskan, Warung Apas". Anehnya di samping papan itu tidak ada warung hanya jalan setapak menanjak.

"Kita naik dulu, warungnya ada diatas" aku kaget dia sepertinya seorang pembaca pikiran beneran.

Kami berjalan sekitar lima menit lalu sampai di warung, aku takjub. Warungnya seperti di atas bukit, aku bisa melihat seisi kota dengan jelas, lampu lampu yang sudah menyala walau ini masih sore, mobil mobil yang terlihat kecil. Takjub.

Dia menyuruhku duduk, kemudian menjelaskan kenapa dia begitu, katanya dia serius dengan ucapannya kemarin, dia ingin menjadikanku seorang pacarnya. Namun belum aku berkata ya atau tidak dia memberitahu hal yang membuatku sesak.

 "Aku akan pindah kampus, ke luar negeri, ayahku menyuruhku belajar di sana, katanya agar aku bisa melanjutkan perusahaanya maka aku harus pintar" itulah kabar tidak mengenakkan yang disampaikannya.

"Ayahmu tidak salah, memang belajar di luar negeri sana bakal lebih bagus, kau akan bertemu dengan orang yang hebat, jenius" aku menjawab tenang.

"Tapi aku tidak lagi melihatmu, aku tidak bisa menasihatimu lagi" aku tertawa pelan mendengarkan ucapannya barusan.

"Sekarang sudah canggih, bisa telpon, handphonemu juga pasti lebih bagus dariku"

Entah kenapa dia mengatakannya sekarang, lihatlah matahari sedang cantik-cantiknya, Mentari senja menyentuh wajahku, angin sore menggelitik rambutku. Indah.

"Berarti kamu mengiyakan tawaranku?" wajahnya tiba tiba kembali ceria.

 Aku mengerti maksudnya, disaat aku mengatakan bisa telponan, tandanya aku bersedia menjadi pacarnya.

"Ya" jawabku pendek.

"Hahahahaha, terimakasih"

Setelah ucapannya itu, kami berdua diam sibuk menikmati senja saat itu, indah sekali melihat dari atas sini.

Sepuluh menit menikmati pemandangan, dia memecah lamunanku.

 "Tenang saja, walau aku tidak berada disisimu untuk menemanimu, aku akan selalu ada di setiap keluh kesahmu" jawabnya manis.

"Bagaimana kau bisa tahu keluh kesahku, bahagiaku, perasaan ku disaat kau tidak disisiku" aku balas menjawab.

Jawabanku membuatnya diam, lama sekali kami diam, hingga adzan maghrib terdengar, kami memlih pulang. Ingin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun