Mohon tunggu...
Riska Khairunnisa Sinaga
Riska Khairunnisa Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Tak Terlihat

3 Oktober 2025   16:20 Diperbarui: 3 Oktober 2025   16:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, keadaan di rumah mencapai puncaknya. Ayah tirinya pulang dalam keadaan lebih mabuk dari biasanya. Ia marah besar kepada ibu Ana hanya karena ada piring yang pecah di dapur. Kali ini, ia tidak hanya berteriak, tetapi juga mulai memukul. Ana yang melihat kejadian itu langsung berlari keluar dari kamar dan mencoba melindungi ibunya.

"Ayah, hentikan! Jangan sakiti ibu!" teriak Ana.

Namun, ayah tirinya malah mendorong Ana hingga terjatuh. Adiknya menangis histeris di sudut ruangan. Ana tahu, ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Dengan tangan gemetar, ia mengambil ponselnya dan menelepon nomor darurat yang sudah ia simpan.

"Polisi? Tolong, ayah saya sedang melakukan kekerasan di rumah!" katanya dengan suara gemetar.

Beberapa menit kemudian, suara sirene terdengar di luar rumah. Polisi masuk dan menahan ayah tirinya yang masih dalam keadaan mabuk. Ana memberikan semua bukti yang sudah ia kumpulkan: rekaman, foto, dan catatan kejadian. Polisi membawa ayah tirinya pergi, sementara Ana memeluk ibunya yang menangis.

"Ibu, ini saatnya kita mulai hidup baru," kata Ana sambil menggenggam tangan ibunya.

Beberapa bulan kemudian, hidup Ana dan keluarganya mulai membaik. Ibunya akhirnya menggugat cerai, dan mereka pindah ke rumah kecil di pinggiran kota. Ana bekerja paruh waktu di sebuah toko buku untuk membantu keuangan keluarga, sementara ibunya mulai belajar menjahit untuk membuka usaha kecil.

Di sekolah, Ana mulai merasa lebih percaya diri. Meskipun masih ada beberapa teman yang suka mengolok-oloknya, ia tidak peduli lagi. Ia tahu bahwa ia lebih kuat dari apa pun yang mereka katakan.

Ria tetap menjadi sahabat setianya. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka di masa depan.

"Kamu tahu, Ria, aku pengen jadi psikolog suatu hari nanti," kata Ana suatu sore. "Aku pengen bantu orang-orang yang mengalami hal yang sama seperti aku, supaya mereka tahu mereka nggak sendirian."

Ria tersenyum. "Aku yakin kamu bisa, Ana. Kamu udah ngelawan banyak hal, dan kamu berhasil."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun