Keesokan paginya, Ana menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengan ibunya. Setelah ayah tirinya pergi bekerja, ia mendekati ibunya yang sedang mencuci pakaian di belakang rumah. Wajah ibunya terlihat lelah, dengan lingkaran hitam di bawah matanya.
"Ibu," panggil Ana pelan.
Ibunya menoleh, tetapi tidak menjawab. Ia hanya terus mencuci, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan.
Ana mengambil napas dalam-dalam. "Ibu, kita nggak bisa terus hidup seperti ini. Kita harus pergi dari sini. Aku nggak mau ibu terus disakitin, aku nggak mau adik terus ketakutan setiap malam."
Ibunya berhenti mencuci, tetapi tetap tidak menatap Ana. "Ana, kamu nggak tahu gimana sulitnya hidup tanpa suami. Kalau ibu cerai, kita mau tinggal di mana? Mau makan apa?" jawabnya dengan suara pelan, tetapi penuh kepasrahan.
"Ibu, aku tahu itu berat. Tapi kita nggak akan pernah bahagia kalau tetap tinggal di sini. Aku janji, aku akan bantu ibu. Aku akan kerja sambilan, apa pun yang bisa aku lakukan. Yang penting kita bebas," kata Ana dengan nada tegas.
Ibunya terdiam lama. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ana tahu, ini adalah tanda bahwa ibunya mulai mempertimbangkan kata-katanya.
Hari-hari berikutnya, Ana mulai mencari cara untuk mengumpulkan bukti kekerasan yang dilakukan ayah tirinya. Ia merekam suara teriakan dan pertengkaran di rumah, memotret barang-barang yang rusak, dan mencatat semua kejadian dengan detail di buku catatannya. Ia juga mulai mencari informasi tentang tempat perlindungan bagi korban kekerasan rumah tangga.
Sementara itu, ia terus berbicara dengan Ria. Ria selalu mendukungnya, memberikan semangat setiap kali Ana mulai merasa ragu.
"Kamu pasti bisa, Ana. Aku tahu kamu kuat," kata Ria suatu hari saat mereka duduk di taman sekolah.
Ana tersenyum kecil. "Terima kasih, Ria. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku udah menyerah."