Mohon tunggu...
Riska Khairunnisa Sinaga
Riska Khairunnisa Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Tak Terlihat

3 Oktober 2025   16:20 Diperbarui: 3 Oktober 2025   16:19 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ana tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memeluk adiknya lebih erat, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir.

***

Keesokan harinya, Ana mengumpulkan keberanian untuk menemui Bu Nurul, wali kelasnya. Ia sudah terlalu lama menyimpan semua ini sendirian. Baginya, Bu Nurul adalah guru yang baik, seseorang yang pernah berkata bahwa ia ingin murid-muridnya merasa nyaman untuk berbicara.

Ketika jam istirahat tiba, Ana mengetuk pintu ruang guru dengan tangan gemetar. "Masuk," suara Bu Nurul terdengar dari dalam.

Ana membuka pintu perlahan dan melangkah masuk. "Bu, saya boleh bicara sebentar?" tanyanya dengan suara hampir berbisik.

"Silakan, Ana. Ada apa?" Bu Nurul tersenyum ramah, tetapi senyumnya membuat Ana semakin gugup. Kata-kata yang sudah ia susun di kepalanya tiba-tiba berhamburan.

"Saya... saya mau cerita tentang rumah saya, Bu," kata Ana akhirnya.

Bu Nurul mengangguk, meletakkan pena di tangannya. "Ceritakan saja, Ana. Ibu mendengarkan."

Ana mulai bercerita, tentang ayah tirinya yang sering mabuk, tentang ibu yang selalu menjadi korban kekerasan, dan tentang bagaimana ia harus melindungi adiknya setiap malam. Kata-katanya keluar terbata-bata, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin seseorang mendengarkan dan percaya padanya.

Namun, wajah Bu Nurul berubah. Senyumnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang sulit dijelaskan. "Ana, kamu yakin? Jangan-jangan kamu cuma salah paham dengan ayah tirimu?"

Ana terdiam. Hatinya seperti dihantam palu. "Tapi, Bu, ini benar... Saya melihat sendiri," katanya dengan suara bergetar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun