Bu Nurul menghela napas panjang. "Ana, mungkin kamu hanya merasa stres. Cobalah untuk lebih terbuka dengan keluargamu. Kalau kamu terus berpikir negatif seperti ini, itu tidak akan menyelesaikan apa-apa."
Ana menunduk, merasa dadanya sesak. Ia tidak menyangka bahwa orang dewasa yang ia percaya justru akan meremehkan ceritanya. Dengan suara pelan, ia hanya bisa berkata, "Iya, Bu. Maaf mengganggu waktunya."
Ana keluar dari ruang guru dengan langkah berat. Dunia yang sudah terasa gelap kini semakin gelap.
Beberapa hari kemudian, Ana mencoba cara lain. Ia menemui guru Bimbingan Konseling (BK), berharap setidaknya mereka akan lebih memahami situasinya. Guru BK, seorang pria paruh baya bernama Pak Arif, mempersilakannya duduk.
"Ana, apa yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
Ana menceritakan segalanya lagi, kali ini dengan lebih terperinci. Ia berharap dengan penjelasan yang lebih jelas, Pak Arif akan percaya.
Namun, tanggapan Pak Arif tidak jauh berbeda. "Ana, sepertinya kamu terlalu banyak menonton drama atau membaca cerita sedih, ya? Kadang-kadang, imajinasi kita bisa memengaruhi cara kita melihat dunia nyata."
"Tapi Pak, ini bukan imajinasi!" Ana hampir menangis. "Saya melihat sendiri. Saya---"
Pak Arif memotongnya. "Ana, kalau kamu merasa ada masalah, kita bisa bicara dengan orang tuamu. Tapi saya rasa, mereka pasti ingin yang terbaik untukmu."
Ana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia merasa seperti berbicara dengan tembok.
Malam itu, di rumah, Ana duduk di lantai kamarnya, memeluk lututnya sambil menangis. Ia merasa tidak ada seorang pun di dunia ini yang peduli padanya. Bahkan orang dewasa yang seharusnya melindungi anak-anak seperti dirinya pun tidak percaya.