Langkah Ana terhenti. Ia memandang Ria dengan mata yang penuh luka, seolah-olah semua kesakitannya akan meledak kapan saja. "Ria... aku nggak tahu harus apa lagi," katanya akhirnya, suaranya bergetar.
Ria memegang bahu Ana, menuntunnya ke sebuah bangku kayu di bawah pohon besar yang meskipun basah, masih sedikit terlindung dari hujan. Mereka duduk berdua, mendengarkan suara hujan yang jatuh di atas daun.
"Aku capek, Ria. Aku capek banget. Di rumah, aku nggak pernah merasa aman. Di sekolah, aku cuma jadi bahan olokan. Aku udah coba cerita ke Bu Nurul, ke Pak Arif, tapi mereka nggak percaya. Mereka pikir aku cuma melebih-lebihkan." Ana mulai menangis, kali ini ia tidak mencoba menahannya.
Ria mendengarkan dengan serius, tanpa memotong cerita Ana. Ia tahu, ini adalah momen di mana Ana benar-benar membuka dirinya.
"Ayah tiriku... dia nggak cuma bikin hidupku susah. Dia juga sering mukulin ibu. Aku nggak tahu lagi harus gimana. Aku cuma takut suatu hari nanti dia akan nyakitin adikku juga. Tapi nggak ada yang percaya sama aku, Ria. Nggak ada."
Ria menggenggam tangan Ana erat-erat. "Ana, aku percaya sama kamu. Aku percaya semua yang kamu bilang."
Mendengar kata-kata itu, Ana merasa seperti sebuah beban besar terangkat dari pundaknya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar percaya padanya, tanpa keraguan.
"Terima kasih, Ria," kata Ana pelan.
Ria tersenyum kecil. "Ana, aku mungkin nggak bisa ngubah keadaanmu, tapi aku selalu ada buat kamu. Kamu nggak sendirian. Kamu tahu itu, kan?"
Ana mengangguk, meskipun air matanya masih mengalir. Dalam hatinya, ia bersyukur memiliki sahabat seperti Ria.
Beberapa hari kemudian, setelah hujan itu, Ana dan Ria duduk di kantin sekolah. Ria mencoba mengalihkan perhatian Ana dengan cerita-cerita lucu dari masa kecilnya.